YA'AHOWU !! SYALLOM.. Kata Yesus: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku. (Yoh. 14:6) FAOMASI ZOAYA

LABEL

Pencarian

MARILAH KITA MENJADI BERKAT MELALUI INTERNET, KIRIMKAN TULISAN ANDA YANG MEMBANGKITKAN IMAN, MEMULIHKAN, MEMBAWA JIWA & PERTOBATAN KEPADA TUHAN.

Rabu, 07 September 2011

Sejarah Pekabaran Injil di Pulau Nias

I.      Pendahuluan


Pekabaran Injil di Nias dimulai dengan satu nama yang seolah-olah terukir indah dengan tinta mas dalam lembaran sejarah gereja di Pulau Nias. Nama itu ialah ERNST LUDWIG DENNINGER, salah seorang lulusan Bassel Missions  Seminarie. Ia diutus oleh RMG (Rheinische Missions Gesselschaft) dan tiba di Pelabuhan Gunung Sitoli Nias pada hari Rabu, tanggal 27 September 1865, jam 09.00 pagi. Hingga sekarang tanggal kedatangannya inilah yang dianggap sebagai permulaan datangnya Berita Injil di Nias, dan selalu diperingati setiap tahun, minimal sekali dalam lima tahun.

Memang ada informasi lain, bahwa Pekabaran Injil di Nias telah dimulai pada tahun 1822/1823 oleh dua orang pastor dari Gereja Roma Katolik, yang diutus oleh Mission Estrangers de Paris yaitu Pastor Pere Wallon dan Pastor Pele Barart, tetapi ternyata pekerjaan mereka tidak berhasil. Setelah mereka tiga hari tinggal di Lasara–Gunung Sitoli, seorang diantaranya meninggal dunia, demikian pula yang lainnya juga meninggal dunia tiga bulan kemudian. Sebab itu Pendeta–Evangelis ERNST LUDWIG DENNINGER–lah yang diakui dan diterima sebagai Rasul Pertama di tengah-tengah Suku Nias.

Hasil pelayanan ERNST LUDWIG DENNINGER mengabarkan Injil di Nias sudah dapat dilihat dan dirasakan sekarang ini. Dengan tekun ia telah melakukan tugas pengutusannya, sampai ia meninggal dunia pada tahun 1876 karena suatu penyakit dan dimakamkan di Batavia (Kota Jakarta masa kini).
 

II.    Masa Permulaan Yang Sulit (1865-1890)


Kira-kira 50 tahun setelah Tuhan Yesus naik ke sorga dan memerintahkan Amanat Agung Pekabaran Injil, Paulus dan para rasul sudah memberitakan Injil meliputi Asia Kecil, bahkan sampai di Eropah. Setelah lama kemudian, kira-kira pada tahun 1700 keadaan terbalik, di mana orang-orang Eropah mulai berusaha mengirim para misionaris ke Asia. Perubahan besar ini terjadi sebagai dampak munculnya aliran Pencerahan dan Revival/Pietisme di Eropah pada abad 18.

Demikianlah halnya RMG di Barmen, Jerman, yang didirikan pada tahun 1828, salah satu lembaga Pekabaran Injil yang berasal dari Gereja Uniert, yaitu gabungan Gereja Lutheran dan Gereja Reformiert (pada tahun 1817), mulai mengutus beberapa orang missionaris ke Pulau Borneo (Kalimantan) Bagian Selatan yang tiba pada tahun 1836. Namun selama ± 20 tahun mereka mengalami kesulitan-kesulitan yang luar biasa. Yang berhasil dibaptis baru 261 orang. Apalagi dengan terjadinya pemberontakan Suku Dayak yang dipimpin oleh Pangeran Al Hidayat pada tahun 1859, yang berusaha mengusir dan membebaskan Borneo Selatan dari pengaruh Bangsa Kulit Putih, sehingga tercatat 9 orang keluarga missionaris menjadi korban pembunuhan (4 orang missionaris beserta 3 orang wanita dan 2 orang anak).

Para missionaris lainnya melarikan diri ke Batavia (Pulau Jawa), akibat pemberontakan itu, dan salah seorang di antaranya adalah ERNST LUDWIG DENNINGER. Pengurus RMG di Barmen menyuruhnya pergi ke Tanah Batak, tetapi karena istrinya sakit maka ia terpaksa tinggal di Padang, Sumatera Barat. Bahkan anaknya perempuan disuruh datang dari Jerman ke Padang untuk merawat ibunya.

Di Padang ERNST LUDWIG DENNINGER bertemu dengan orang-orang suku Nias (sekitar 3000 orang), kebanyakan bekerja sebagai buruh, yang berbeda bahasa, budaya dan adat istiadatnya. Ia tertarik lalu mulai belajar bahasa dan cara hidup mereka. Ia senang bergaul serta menjalin hubungan dengan para buruh – pekerja dari Nias tersebut. Dulu sebelum ia diutus ke Borneo, ia bekerja sebagai tukang sapu cerobong asap rumah-rumah di Berlin.

Mula-mula ERNST LUDWIG DENNINGER bermaksud membentuk satu jemaat bagi orang-orang Nias di Padang, namun ia menyadari bahwa mereka hanya perantauan yang sering berpindah-pindah, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk datang langsung ke Pulau Nias. Dengan mudah ia mendapat persetujuan dari RMG dan Pemerintah Hindia Belanda, sebab sebelumnya sudah ada permintaan pemerintah kepada RMG agar diutus Pendeta Penginjil ke Pulau Nias. Alasannya, karena orang-orang di Nias terkenal jahat, suka memberontak dan mengayau kepala orang.

Lalu tibalah waktunya Denninger sekeluarga meninggalkan Padang menuju Pulau Nias. Keluarga missionaris tersebut mendarat di Pelabuhan Gunung Sitoli pada jam 09.00 pagi hari pada hari Rabu, tanggal 27 September 1865. Dari pelabuhan mereka diantar langsung ke rumah Salaŵa Yaŵaduha di Hilina’a. Dan pada hari itu juga Denninger mulai mengabarkan Injil kepada penduduk yang datang berkumpul melawat mereka. Kemudian mereka menyewa salah satu rumah di sekitar Gunung Sitoli untuk tempat tinggal mereka.

Bersumber dari penuturan beberapa orang tua yang sekarang semuanya sudah meninggal dunia, untuk menarik perhatian orang banyak supaya mau belajar Firman Tuhan dan nyanyian-nyanyian gereja, Denninger lebih dahulu membagikan tembakau untuk rokok dan ramuan sirih. Dalam masa permulaan yang sulit itu, Denninger berusaha mengajar beberapa orang pemuda agar dapat membaca dan menulis. Permulaan sekolah ini hanya diselenggarakan di rumah penduduk, dan ternyata berhasil, sehingga pemuda-pemuda inilah yang mampu menjadi pembantu-pembantu Denninger untuk mengajar anak-anak di sekitar Gunung Sitoli pada tahun 1866.

Selain itu Denninger juga telah berhasil menterjemahkan Injil Yohanes dan Injil Lukas ke dalam Bahasa Nias. Karyanya ini sangat berarti, baik bagi orang-orang Nias yang dapat membaca maupun bagi para missionaris yang datang kemudian.

Pada tahun 1872, tujuh tahun setelah kedatangan Denninger di Pulau Nias, datang pula missionaris kedua dari RMG yaitu Pendeta J.W. Thomas. Ia belajar bahasa Nias dari Denninger, kemudian melayani di pos PI yang baru di Ombölata.

Sesudah itu pada tahun 1873 datang lagi missionaris ketiga bernama Krämer. Ia ditempatkan di Gunung Sitoli bersama dengan istrinya yang terkenal sangat rajin berkunjung kepada kelurga-keluarga di Kampung Hilina’a, sehingga pada hari paskah tahun 1874 berhasil dilaksanakan Baptisan pertama kepada 25 orang penduduk Kampung Hilina’a, termasuk Yaŵaduha, Salaŵa/Kepala Kampung Hilina’a.

Hasil Pekabaran Injil berikutnya yakni pembaptisan 6 orang penduduk Ombölata, tempat Pdt. J.W. Thomas melayani, dan pada tahun 1876 menyusul lagi pembaptisan 32 orang penduduk Faechu (± 2 km dari Ombölata). Pada tahun 1876 itu pula berdirilah Gedung Gereja yang pertama di Nias, yaitu di Ombölata, dan pada tahun 1880 disusul lagi berdirinya Gedung Gereja yang kedua, yaitu di Faechu.

Satu tahun sebelum meninggal dunia, yaitu pada tahun 1875, Denninger pergi berobat ke Batavia. Dan pada tahun 1876 tiba di Nias missionaris keempat bernama Dr. W.H. Sundermann. Setelah dua tahun bersama Krämer di Gunung Sitoli, Doktor Theologia ini merasa matang berbahasa Nias, lalu membuka Pos PI di Dahana, namun di sana ia berhadapan dengan penyembahan berhala yang begitu kuat. Sebab itu ia beralih ke bidang pendidikan dengan menghimpun dan mengajar para pemuda setempat. Usahanya inilah yang merupakan cikal bakal berdirinya Sekolah Guru di Nias.

Pada tahun 1881 datang lagi missionaris kelima bernama J.A. Fehr. Dia ini yang menggantikan J.W. Thomas di Ombölata pada tahun 1883, sebab J.W. Thomas pergi berusaha membuka Pos PI di Sa’ua, meskipun usahanya itu ternyata gagal.

Dalam 25 tahun masa permulaan ini, 5 orang pendeta penginjil dari RMG Jerman telah bekerja di Nias. Namun usaha PI mengalami banyak kesulitan, seperti pengaruh agama suku yang sangat kuat, gangguan keamanan, pengayauan, wabah penyakit, keadaan geografi dan lain-lain. Daerah yang dicapai hanya di sekitar Gunung Sitoli saja, dengan 3 Pos PI yaitu Gunung Sitoli, Ombölata, dan Dahana. Usaha Denninger (yang dibantu oleh Kodding dan Mohri) di Onolimbu (Muara Sungai Idanö Mola) pada tahun 1867, Sundermann di Tugala Lahömi-Sirombu tahun 1875/1876, J.W. Thomas di Sa’ua tahun 1885, tetapi semua itu baru bersifat penjajakan.

Walaupun banyak kesulitan yang dialami serta jangkauan PI yang dapat dicapai tidak begitu luas, namun dalam periode ini telah berhasil dibaptis sebanyak 699 orang (148 orang di Gunung Sitoli, 348 orang di Ombölata, dan 203 orang di Dahana). Juga diantara mereka telah dipilih beberapa orang menjadi penatua.


III.  Masa Perluasan/Penyebaran (1890-1914)

Usaha PI pada periode ini ternyata mengalami kemajuan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pada periode ini berhasil masuk di Nias Bagian Tengah sampai ke Nias Bagian Barat, Pantai Sebelah Timur sampai di Nias Bagian Selatan, Nias Bagian Utara, dan di Pulau-pulau Batu.


A.     Masuknya Injil di Nias Bagian Tengah dan Nias Bagian Barat

Dr. W.H. Sundermann telah berusaha menyebarkan Inil di Dahana, tetapi masih belum menarik perhatian penduduk di sana. Maka pada tahun 1896 ia pindah ke Lölöwua dan membuka Pos PI di situ. Di Lölöwua ini Sundermann berhasil menterjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Nias, ditambah dengan Katekhismus Luther yang disebut “Lala Wangorifi,” dalam usahanya ini, W.H. Sunderman dibantu oleh Ama Mandranga Mendröfa.

Sementara itu E. Fries yang baru tiba di Nias membuka Pos PI di Sifaoro’asi pada tahun 1905. Di sana ia mengalami kesulitan karena adanya perselisihan dan perkelahian antara kelompok-kelompok penduduk, pengayauan, kemiskinan penduduk, wabah penyakit yang telah merenggut banyak jiwa termasuk dua orang anaknya sendiri. Namun 4 tahun setelah kedatangannya di sana, tepatnya tanggal 26 Desember 1909 di Sifaoro’asi dapat dilaksanakan pembaptisan yang pertama sekaligus dengan peresmian Gedung Gereja yang pertama di situ.

Di Nias Bagian Barat H. Lagemann bersama A. Lett telah berhasil tiba di Sirombu pada tahun 1892, dan membuka Pos PI di situ di bawah asuhan A. Lett. Satu tahun kemudian (tahun 1893) H. Lagemann juga berhasil membuka Pos PI di Lahagu. Menyusul lagi pada tahun 1899 Pendeta Sporket membuka Pos PI di Lölömboli Moro’ö. Demikian pula bersamaan dengan itu Pendeta W. Hoffman membuka Pos PI di Hinako.

Berikutnya pada tahun 1903 Pendeta L. Hipponstiel menetap di Lölöwa’u. Dua tahun kemudian (1905) Pendeta A. Pilgenroder membuka Pos PI di Tugala Oyo, dan pada tahun 1906 Pendeta Bassfeld membuka Pos PI di Lölömoyo, Mandrehe. Akhirnya Pendeta Bassfeld ini dipindahkan di Lawelu pada tahun 1919. Kemudian pekerjaannya di sana diteruskan oleh Pendeta Uffer, Kreck dan Alfred Schneider.


B.     Masuknya Injil di Pantai Bagian Timur Sampai di Nias Bagian Selatan

Usaha J.W. Thomas membuka Pos PI di Sa’ua pada periode pertama ternyata gagal, sebab di sana berkecamuk perang saudara. Pemerintah Hindia Belanda memanggil J.W. Thomas pulang ke Gunung Sitoli pada tahun 1886. Ia cuti selama 3 tahun dan kembali lagi ke Gunung Sitoli pada tahun 1889. Dua tahun setelah kembali di Gunung Sitoli (tahun 1891) Pendeta J.W. Thomas membuka Pos PI di Humene. Penduduk Humene yang rata-rata miskin dan sering dilanda wabah penyakit itu tertarik kepada berita Injil, sehingga pada tanggal 17 Juli 1893 terjadilah pembaptisan pertama bagi 115 orang penduduk di Humene.

Pendeta Thomas bersama istrinya melayani dengan sungguh-sungguh, baik di bidang penginjilan maupun di bidang pendidikan dan pengajaran. Gedung gereja yang selesai dibangun pada tahun 1894 sekaligus dipakai sebagai ruang belajar. Pada tahun 1895, Thomas membuka sekolah Guru Seminari di Humene, yang kemudian dipindahkan ke Ombölata, sebab Thomas meninggal dunia karena sakit dan dimakamkan di Humene pada tahun 1900.

Karya Pendeta J.W. Thomas lainnya yang terkenal ialah Kamus “Wordenboek Nias–Melayu–Belanda,” “Bibelkunde,” dan “Buku Zinunö.” Thomas meninggalkan 1385 anggota baptis di Humene dan sekitarnya.

Pada tahun 1899, Pendeta Momeyer membuka Pos PI di Sogae’adu. Kemudian pada tahun 1903 Pendeta Rabeneck di Bio’uti dan pada tahun 1905 oleh Pendeta Bieger di Bawalia.

Usaha PI di Nias Bagian Selatan baru dapat dibuka kembali pada tahun 1908, yaitu setelah Pemerintah Hindia Belanda berhasil menundukkan Öri Maenamölö. Sehingga Pendeta H. Rabeneck berhasil membuka Pos PI di sana pada tahun 1909 dengan dibantu oleh dua orang tenaga guru yaitu Faedogö di Hiligeo dan Fangaro di Hilisatarö. Baptisan pertama di sana baru terjadi pada tahun 1916. Berita Injil baru masuk di Hilisimaetanö pada tahun 1911, yaitu dengan datangnya Pendeta B. Borutta di sana. Masuknya Injil di Nias Bagian Selatan menghadapi cukup banyak tantangan dan kesukaran.


C.     Masuknya Injil di Nias Bagian Utara

Pada tanun 1903 Pendeta Noll membuka Pos PI di Bo’usö. Orang-orang yang datang dan pergi melalui Bo’usö ini mempercepat tersiarnya berita Injil di kalangan penduduk di Nias Bagian Utara, sehingga pada tahun 1910 Tuhenöri Ama De’ali yang bergelar Samasiniha dari Hilindruria bersama 3 orang salaŵa datang meminta kepada Pendeta Noll agar membuka Pos PI di Hilimaziaya. Pada tahun 1911 Pendeta Schlipkoter membuka Pos PI di Hilimaziaya. Kemudian berita Injil tersiar mulai dari Hilimaziaya dan dari Tugala Oyo sampai di Afulu dan Lahewa. Akhirnya pada tahun 1922 Pendeta Skubina membuka Pos PI di Lahewa.


D.    Masuknya Injil di Pulau-pulau Batu

Masuknya Injil di Pulau-pulau Batu bukan atas usaha RMG tetapi atas usaha Luthersche Zendings Genootschap dari Negeri Belanda. Setelah mendapat izin dari Pemerintah Hindia Belanda di Padang, Pendeta Johannes Kersten yang sebelumnya telah belajar bergaul dengan orang-orang Nias di Padang, akhirnya berlayar menuju Pulau Tello dan tiba pada tanggal 25 Februari 1889. Seperti halnya di daratan Pulau Nias, Pendeta Johannes Kersten di sana juga menghadapi wabah penyakit dan permusuhan antar kelompok penduduk. Pada akhir tahun itu datang pula Pendeta C.W. Frickenschmit, dan tidak lama kemudian menyusul P. Landwer yang berhasil membuka Pos PI di Sigala pada tahun 1896.

Mula-mula mereka berusaha membuka sekolah-sekolah di pulau-pulau yang berdekatan, jadi dari situ diteruskan usaha PI. Dengan cara ini pada tahun 1912 dapat dibuka Pos PI di Pulau Mari, pada tahun 1913 di Pulau Betua, tahun 1914 di Pulau Sifika dan tahun 1916 di Pulau Lora.

Gereja yang pertama didirikan di Pulau-pulau Batu disebut BKP (Banua Keriso Protestan) dan akhirnya menggabungkan diri dengan BNKP pada Persidangan Majelis Sinode BNKP tahun 1960 di Ombölata.


IV.  Berdirinya Gereja BNKP

Setelah Injil masuk ke Nias, terjadilah suatu gerakan pertobatan massal yang disebut “Fangesa Dödö Sebua.” Peristiwa ini terjadi selama 14 tahun (tahun 1916-1930), walaupun kadang-kadang terputus. Terjadinya mula-mula di Jemaat Helefanicha, Humene, ketika Pendeta Otto Rudersdorf berkhotbah dalam Kebaktian Perjamuan Kudus pada bulan April 1916. Salah seorang jemaat yang mengikuti kebaktian bernama Filemo mengakui semua dosa dan kesalahannya sehingga sangat susah, gelisah, gemetar dan menangis.

Setelah Pendeta mendoakan serta memberi petunjuk agar ia mohon pengampunan dari Tuhan dan meminta pengampunan dari setiap orang dengan siapa ia bersalah, ia melakukan semuanya itu, akhirnya ia merasa damai dan bahagia. Tetapi anehnya orang-orang kepada siapa ia minta pengampunan itu juga semua mengalami gejala yang sama, sehingga pertobatan itu berkembang kepada seluruh jemaat, bahkan sampai ke Gunung Sitoli, Sogae’adu, Lölöwua, Nias Tengah, dan Nias Barat.

Meluasnya gejala ini dapat melalui kunjungan kepada kaum keluarga, mengikuti Persekutuan Doa, kebaktian Pemahaman Alkitab, dan sebagainya. Pertobatan massal ini ternyata sangat mempengaruhi perkembangan anggota jemaat sampai ± 415 %. Dari 699 orang sampai tahun 1890 naik menjadi 17.795 orang tahun 1915, kemudian menjadi 83.905 orang.

Di samping pertobatan massal, juga dengan adanya pembinaan pelayan-pelayan gereja yang melayani Pekabaran Injil. Pendidikan tenaga pendeta yang telah dimulai sejak tahun 1905 telah berkembang dan memungkinkan berdirinya gereja. Sampai tahun 1940 telah ditahbiskan 25 orang pendeta dari Suku Nias.

Pada tanggal 18 s.d. 25 November 1936 di Gunung Sitoli diadakan  Persidangan Majelis Sinode pertama, sehingga berdirilah BNKP sebagai gereja di Nias, walaupun anggaran dasarnya baru disahkan pemerintah pada tahun 1938. Sinode BNKP itu dipimpin oleh Ephorus A. Luck dari RMG sampai tahun 1940.

Tetapi pada bulan Mei 1940 terbentuklah anggota Pimpinan Sinode BNKP sebagai berikut :

Voorzitter (Ketua)   : Atoföna Harefa
Wakil Voorzitter      : Fohede Mendröfa
Sekretaris               : Andreas Larosa
Bendahara              : Tandrombörö Hulu (Ama Masati Hulu)
Komisaris I             : Karöröŵa Telaumbanua
Komisaris II                        : Ta’obini Zebua

Atas prakarsa Komisi Pekabaran Injil yang sekarang bernama KMO (Komisi Missi dan Oikumene), BNKP juga pernah mengutus tenaga pendetanya ke Tanah Karo, yaitu Pendeta Fronst Gulö, yang melayani dari tahun 1967-1970, namun berhenti karena kesulitan dana. Baru pada bulan September 1996 melalui kerjasama dengan OMF, BNKP telah mengutus Ibu Pdt. Masrial Zebua, STh. Untuk memberitakan Injil di tengah-tengah suku Manobo di Pulau Mindanao, Filipina Selatan. Dan seterusnya atas kerjasama dengan WEC juga telah diutus Pdt. Destalenta Zega, STh yang didampingi suaminya Max Aay yang menjadi misionaris di Kirghistan, Rusia. Mereka diutus pada bulan Juni 1998.


V.    Penutup

Sebagai dampak datangnya Injil dan usaha pekabaran Injil di Nias, maka berdirilah Gereja BNKP yang melembaga sebagai satu sinode pada tanggal 18 November 1936. BNKP adalah salah satu gereja beraliran reformasi di Indonesia, yang telah menjelma di Pulau Nias sejak kedatangan missionaris pertama Ernst Ludwig Denninger di Pulau Nias pada hari Rabu, tanggal 27 September 1865. Dalam perkembangannya tercatat bahwa BNKP berasal dari hasil Pemberitaan Injil para utusan Rheinische Missions Gessellschaft (RMG) dan para utusan Nederlands Luthers Genootschap Voor in En Uitendige Zending, dan selanjutnya diteruskan oleh para Pemberita  Injil Ono Niha.

BNKP mempunyai dasar Alkitab dan Tata Gereja BNKP, dan tujuan  BNKP adalah menyaksikan Injil Yesus Kristus kepada semua makhluk bagi kemuliaan Allah dan keselamatan manusia. Pada hakekatnya BNKP adalah persekutuan orang-orang kudus yang telah dibaptis dalam nama Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus sebagai perwujudnyataan dari Tubuh Kristus. Tuhan Yesus memerintah dan menggembalakan BNKP melalui Firman dan Sakramen dengan kuat kuasa Roh Kudus.

Penataan BNKP secara organisatoris, sebagai satu lembaga gereja memberlakukan sistim Presbiterial Sinodal, maksudnya jemaat-jemaatnya sebagai basis operasional dinamika pelayanannya, sehingga terhindar dari dominasi sinodal yang kaku, statis, dan otoriter. Sedangkan pada sisi lain menggaris bawahi peranan hubungan sinodal sehingga terhindar dari bahaya memutlakkan jemaat setempat (Kongregasionalisme). Itulah BNKP sebagai gereja reformasi.

Sampai pertengahan tahun 2002, jumlah anggota BNKP tercatat : 333.657 orang, terbagi dalam 7 resort, 96 distrik, dan 808 jemaat. Keseluruhan Jemaat ini dilayani oleh 8.500 orang penatua, 795 orang Guru Jemaat dan 131 orang Pendeta (97 laki-laki dan 31 perempuan), ditambah dengan 18 orang vikar/calon pendeta. Selain unsur pelayan khusus tersebut, BNKP mempunyai beberapa unit pelayanan, yakni 10 komisi, 5 lembaga, dan 3 yayasan/proyek. Dalam hubungan Oikumenis BNKP juga telah menjadi anggota PGI, CCA, WCC, VEM, LWS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih untuk Komentar Anda yang membangun, Semoga menjadi berkat bagi kita semua... Amin. GBU