I.
Pendahuluan
Pekabaran
Injil di Nias dimulai dengan satu nama yang seolah-olah terukir indah dengan
tinta mas dalam lembaran sejarah gereja di Pulau Nias. Nama itu ialah ERNST
LUDWIG DENNINGER, salah seorang lulusan Bassel Missions Seminarie. Ia
diutus oleh RMG (Rheinische Missions Gesselschaft) dan tiba di Pelabuhan Gunung
Sitoli Nias pada hari Rabu, tanggal 27 September 1865 , jam 09.00 pagi. Hingga sekarang tanggal
kedatangannya inilah yang dianggap sebagai permulaan datangnya Berita Injil di
Nias, dan selalu diperingati setiap tahun, minimal sekali dalam lima tahun.
Memang
ada informasi lain, bahwa Pekabaran Injil di Nias telah dimulai pada tahun
1822/1823 oleh dua orang pastor dari Gereja Roma Katolik, yang diutus oleh
Mission Estrangers de Paris yaitu Pastor Pere Wallon dan Pastor Pele Barart,
tetapi ternyata pekerjaan mereka tidak berhasil. Setelah mereka tiga hari
tinggal di Lasara–Gunung Sitoli, seorang diantaranya meninggal dunia, demikian
pula yang lainnya juga meninggal dunia tiga bulan kemudian. Sebab itu
Pendeta–Evangelis ERNST LUDWIG DENNINGER–lah yang diakui dan diterima sebagai
Rasul Pertama di tengah-tengah Suku Nias.
Hasil
pelayanan ERNST LUDWIG DENNINGER mengabarkan Injil di Nias sudah dapat dilihat
dan dirasakan sekarang ini. Dengan tekun ia telah melakukan tugas
pengutusannya, sampai ia meninggal dunia pada tahun 1876 karena suatu penyakit
dan dimakamkan di Batavia
(Kota Jakarta masa kini).
II. Masa Permulaan Yang
Sulit (1865-1890)
Kira-kira
50 tahun setelah Tuhan Yesus naik ke sorga dan memerintahkan Amanat Agung
Pekabaran Injil, Paulus dan para rasul sudah memberitakan Injil meliputi Asia
Kecil, bahkan sampai di Eropah. Setelah lama kemudian, kira-kira pada tahun
1700 keadaan terbalik, di mana orang-orang Eropah mulai berusaha mengirim para
misionaris ke Asia. Perubahan besar ini terjadi sebagai dampak munculnya aliran
Pencerahan dan Revival/Pietisme di Eropah pada abad 18.
Demikianlah
halnya RMG di Barmen, Jerman, yang didirikan pada tahun 1828, salah satu
lembaga Pekabaran Injil yang berasal dari Gereja Uniert, yaitu gabungan Gereja
Lutheran dan Gereja Reformiert (pada tahun 1817), mulai mengutus beberapa orang
missionaris ke Pulau Borneo (Kalimantan) Bagian Selatan yang tiba pada tahun
1836. Namun selama ± 20 tahun mereka mengalami kesulitan-kesulitan yang luar
biasa. Yang berhasil dibaptis baru 261 orang. Apalagi dengan terjadinya
pemberontakan Suku Dayak yang dipimpin oleh Pangeran Al Hidayat pada tahun
1859, yang berusaha mengusir dan membebaskan Borneo Selatan dari pengaruh
Bangsa Kulit Putih, sehingga tercatat 9 orang keluarga missionaris menjadi
korban pembunuhan (4 orang missionaris beserta 3 orang wanita dan 2 orang
anak).
Para
missionaris lainnya melarikan diri ke Batavia (Pulau Jawa), akibat
pemberontakan itu, dan salah seorang di antaranya adalah ERNST LUDWIG
DENNINGER. Pengurus RMG di Barmen menyuruhnya pergi ke Tanah Batak, tetapi
karena istrinya sakit maka ia terpaksa tinggal di Padang, Sumatera Barat.
Bahkan anaknya perempuan disuruh datang dari Jerman ke Padang untuk merawat
ibunya.
Di
Padang ERNST LUDWIG DENNINGER bertemu dengan orang-orang suku Nias (sekitar
3000 orang), kebanyakan bekerja sebagai buruh, yang berbeda bahasa, budaya dan
adat istiadatnya. Ia tertarik lalu mulai belajar bahasa dan cara hidup mereka.
Ia senang bergaul serta menjalin hubungan dengan para buruh – pekerja dari Nias
tersebut. Dulu sebelum ia diutus ke Borneo, ia bekerja sebagai tukang sapu
cerobong asap rumah-rumah di Berlin.
Mula-mula
ERNST LUDWIG DENNINGER bermaksud membentuk satu jemaat bagi orang-orang Nias di
Padang, namun ia menyadari bahwa mereka hanya perantauan yang sering
berpindah-pindah, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk datang langsung ke Pulau
Nias. Dengan mudah ia mendapat persetujuan dari RMG dan Pemerintah Hindia
Belanda, sebab sebelumnya sudah ada permintaan pemerintah kepada RMG agar
diutus Pendeta Penginjil ke Pulau Nias. Alasannya, karena orang-orang di Nias
terkenal jahat, suka memberontak dan mengayau kepala orang.
Lalu
tibalah waktunya Denninger sekeluarga meninggalkan Padang menuju Pulau Nias.
Keluarga missionaris tersebut mendarat di Pelabuhan Gunung Sitoli pada jam
09.00 pagi hari pada hari Rabu, tanggal 27 September 1865. Dari pelabuhan
mereka diantar langsung ke rumah Salaŵa Yaŵaduha di Hilina’a. Dan pada hari itu
juga Denninger mulai mengabarkan Injil kepada penduduk yang datang berkumpul
melawat mereka. Kemudian mereka menyewa salah satu rumah di sekitar Gunung
Sitoli untuk tempat tinggal mereka.
Bersumber
dari penuturan beberapa orang tua yang sekarang semuanya sudah meninggal dunia,
untuk menarik perhatian orang banyak supaya mau belajar Firman Tuhan dan
nyanyian-nyanyian gereja, Denninger lebih dahulu membagikan tembakau untuk
rokok dan ramuan sirih. Dalam masa permulaan yang sulit itu, Denninger berusaha
mengajar beberapa orang pemuda agar dapat membaca dan menulis. Permulaan
sekolah ini hanya diselenggarakan di rumah penduduk, dan ternyata berhasil,
sehingga pemuda-pemuda inilah yang mampu menjadi pembantu-pembantu Denninger
untuk mengajar anak-anak di sekitar Gunung Sitoli pada tahun 1866.
Selain
itu Denninger juga telah berhasil menterjemahkan Injil Yohanes dan Injil Lukas
ke dalam Bahasa Nias. Karyanya ini sangat berarti, baik bagi orang-orang Nias
yang dapat membaca maupun bagi para missionaris yang datang kemudian.
Pada
tahun 1872, tujuh tahun setelah kedatangan Denninger di Pulau Nias, datang pula
missionaris kedua dari RMG yaitu Pendeta J.W. Thomas. Ia belajar bahasa Nias
dari Denninger, kemudian melayani di pos PI yang baru di Ombölata.
Sesudah
itu pada tahun 1873 datang lagi missionaris ketiga bernama Krämer. Ia
ditempatkan di Gunung Sitoli bersama dengan istrinya yang terkenal sangat rajin
berkunjung kepada kelurga-keluarga di Kampung Hilina’a, sehingga pada hari
paskah tahun 1874 berhasil dilaksanakan Baptisan pertama kepada 25 orang
penduduk Kampung Hilina’a, termasuk Yaŵaduha, Salaŵa/Kepala Kampung Hilina’a.
Hasil
Pekabaran Injil berikutnya yakni pembaptisan 6 orang penduduk Ombölata, tempat
Pdt. J.W. Thomas melayani, dan pada tahun 1876 menyusul lagi pembaptisan 32
orang penduduk Faechu (± 2 km dari Ombölata). Pada tahun 1876 itu pula
berdirilah Gedung Gereja yang pertama di Nias, yaitu di Ombölata, dan pada
tahun 1880 disusul lagi berdirinya Gedung Gereja yang kedua, yaitu di Faechu.
Satu
tahun sebelum meninggal dunia, yaitu pada tahun 1875, Denninger pergi berobat
ke Batavia. Dan pada tahun 1876 tiba di Nias missionaris keempat bernama Dr.
W.H. Sundermann. Setelah dua tahun bersama Krämer di Gunung Sitoli, Doktor
Theologia ini merasa matang berbahasa Nias, lalu membuka Pos PI di Dahana,
namun di sana ia berhadapan dengan penyembahan berhala yang begitu kuat. Sebab
itu ia beralih ke bidang pendidikan dengan menghimpun dan mengajar para pemuda
setempat. Usahanya inilah yang merupakan cikal bakal berdirinya Sekolah Guru di
Nias.
Pada
tahun 1881 datang lagi missionaris kelima bernama J.A. Fehr. Dia ini yang
menggantikan J.W. Thomas di Ombölata pada tahun 1883, sebab J.W. Thomas pergi
berusaha membuka Pos PI di Sa’ua, meskipun usahanya itu ternyata gagal.
Dalam
25 tahun masa permulaan ini, 5 orang pendeta penginjil dari RMG Jerman telah
bekerja di Nias. Namun usaha PI mengalami banyak kesulitan, seperti pengaruh
agama suku yang sangat kuat, gangguan keamanan, pengayauan, wabah penyakit,
keadaan geografi dan lain-lain. Daerah yang dicapai hanya di sekitar Gunung
Sitoli saja, dengan 3 Pos PI yaitu Gunung Sitoli, Ombölata, dan Dahana. Usaha
Denninger (yang dibantu oleh Kodding dan Mohri) di Onolimbu (Muara Sungai Idanö
Mola) pada tahun 1867, Sundermann di Tugala Lahömi-Sirombu tahun 1875/1876,
J.W. Thomas di Sa’ua tahun 1885, tetapi semua itu baru bersifat penjajakan.
Walaupun
banyak kesulitan yang dialami serta jangkauan PI yang dapat dicapai tidak
begitu luas, namun dalam periode ini telah berhasil dibaptis sebanyak 699 orang
(148 orang di Gunung Sitoli, 348 orang di Ombölata, dan 203 orang di Dahana).
Juga diantara mereka telah dipilih beberapa orang menjadi penatua.
III. Masa Perluasan/Penyebaran (1890-1914)
Usaha
PI pada periode ini ternyata mengalami kemajuan dibandingkan dengan periode
sebelumnya. Pada periode ini berhasil masuk di Nias Bagian Tengah sampai ke
Nias Bagian Barat, Pantai Sebelah Timur sampai di Nias Bagian Selatan, Nias
Bagian Utara, dan di Pulau-pulau Batu.
A. Masuknya Injil di Nias Bagian
Tengah dan Nias Bagian Barat
Dr.
W.H. Sundermann telah berusaha menyebarkan Inil di Dahana, tetapi masih belum
menarik perhatian penduduk di sana. Maka pada tahun 1896 ia pindah ke Lölöwua
dan membuka Pos PI di situ. Di Lölöwua ini Sundermann berhasil menterjemahkan
Alkitab ke dalam Bahasa Nias, ditambah dengan Katekhismus Luther yang disebut
“Lala Wangorifi,” dalam usahanya ini, W.H. Sunderman dibantu oleh Ama Mandranga
Mendröfa.
Sementara
itu E. Fries yang baru tiba di Nias membuka Pos PI di Sifaoro’asi pada tahun
1905. Di sana ia mengalami kesulitan karena adanya perselisihan dan perkelahian
antara kelompok-kelompok penduduk, pengayauan, kemiskinan penduduk, wabah
penyakit yang telah merenggut banyak jiwa termasuk dua orang anaknya sendiri.
Namun 4 tahun setelah kedatangannya di sana, tepatnya tanggal 26 Desember 1909
di Sifaoro’asi dapat dilaksanakan pembaptisan yang pertama sekaligus dengan
peresmian Gedung Gereja yang pertama di situ.
Di
Nias Bagian Barat H. Lagemann bersama A. Lett telah berhasil tiba di Sirombu
pada tahun 1892, dan membuka Pos PI di situ di bawah asuhan A. Lett. Satu tahun
kemudian (tahun 1893) H. Lagemann juga berhasil membuka Pos PI di Lahagu.
Menyusul lagi pada tahun 1899 Pendeta Sporket membuka Pos PI di Lölömboli
Moro’ö. Demikian pula bersamaan dengan itu Pendeta W. Hoffman membuka Pos PI di
Hinako.
Berikutnya
pada tahun 1903 Pendeta L. Hipponstiel menetap di Lölöwa’u. Dua tahun kemudian
(1905) Pendeta A. Pilgenroder membuka Pos PI di Tugala Oyo, dan pada tahun 1906
Pendeta Bassfeld membuka Pos PI di Lölömoyo, Mandrehe. Akhirnya Pendeta
Bassfeld ini dipindahkan di Lawelu pada tahun 1919. Kemudian pekerjaannya di
sana diteruskan oleh Pendeta Uffer, Kreck dan Alfred Schneider.
B. Masuknya Injil di Pantai Bagian
Timur Sampai di Nias Bagian Selatan
Usaha
J.W. Thomas membuka Pos PI di Sa’ua pada periode pertama ternyata gagal, sebab
di sana berkecamuk perang saudara. Pemerintah Hindia Belanda memanggil J.W.
Thomas pulang ke Gunung Sitoli pada tahun 1886. Ia cuti selama 3 tahun dan
kembali lagi ke Gunung Sitoli pada tahun 1889. Dua tahun setelah kembali di
Gunung Sitoli (tahun 1891) Pendeta J.W. Thomas membuka Pos PI di Humene.
Penduduk Humene yang rata-rata miskin dan sering dilanda wabah penyakit itu
tertarik kepada berita Injil, sehingga pada tanggal 17 Juli 1893 terjadilah
pembaptisan pertama bagi 115 orang penduduk di Humene.
Pendeta
Thomas bersama istrinya melayani dengan sungguh-sungguh, baik di bidang
penginjilan maupun di bidang pendidikan dan pengajaran. Gedung gereja yang
selesai dibangun pada tahun 1894 sekaligus dipakai sebagai ruang belajar. Pada
tahun 1895, Thomas membuka sekolah Guru Seminari di Humene, yang kemudian
dipindahkan ke Ombölata, sebab Thomas meninggal dunia karena sakit dan
dimakamkan di Humene pada tahun 1900.
Karya
Pendeta J.W. Thomas lainnya yang terkenal ialah Kamus “Wordenboek
Nias–Melayu–Belanda,” “Bibelkunde,” dan “Buku Zinunö.” Thomas meninggalkan 1385
anggota baptis di Humene dan sekitarnya.
Pada
tahun 1899, Pendeta Momeyer membuka Pos PI di Sogae’adu. Kemudian pada tahun
1903 Pendeta Rabeneck di Bio’uti dan pada tahun 1905 oleh Pendeta Bieger di
Bawalia.
Usaha
PI di Nias Bagian Selatan baru dapat dibuka kembali pada tahun 1908, yaitu
setelah Pemerintah Hindia Belanda berhasil menundukkan Öri Maenamölö. Sehingga
Pendeta H. Rabeneck berhasil membuka Pos PI di sana pada tahun 1909 dengan
dibantu oleh dua orang tenaga guru yaitu Faedogö di Hiligeo dan Fangaro di
Hilisatarö. Baptisan pertama di sana baru terjadi pada tahun 1916. Berita Injil
baru masuk di Hilisimaetanö pada tahun 1911, yaitu dengan datangnya Pendeta B.
Borutta di sana. Masuknya Injil di Nias Bagian Selatan menghadapi cukup banyak
tantangan dan kesukaran.
C. Masuknya Injil di Nias Bagian
Utara
Pada
tanun 1903 Pendeta Noll membuka Pos PI di Bo’usö. Orang-orang yang datang dan
pergi melalui Bo’usö ini mempercepat tersiarnya berita Injil di kalangan
penduduk di Nias Bagian Utara, sehingga pada tahun 1910 Tuhenöri Ama De’ali
yang bergelar Samasiniha dari Hilindruria bersama 3 orang salaŵa datang meminta
kepada Pendeta Noll agar membuka Pos PI di Hilimaziaya. Pada tahun 1911 Pendeta
Schlipkoter membuka Pos PI di Hilimaziaya. Kemudian berita Injil tersiar mulai
dari Hilimaziaya dan dari Tugala Oyo sampai di Afulu dan Lahewa. Akhirnya pada
tahun 1922 Pendeta Skubina membuka Pos PI di Lahewa.
D. Masuknya Injil di Pulau-pulau Batu
Masuknya
Injil di Pulau-pulau Batu bukan atas usaha RMG tetapi atas usaha Luthersche
Zendings Genootschap dari Negeri Belanda. Setelah mendapat izin dari Pemerintah
Hindia Belanda di Padang, Pendeta Johannes Kersten yang sebelumnya telah
belajar bergaul dengan orang-orang Nias di Padang, akhirnya berlayar menuju
Pulau Tello dan tiba pada tanggal 25 Februari 1889. Seperti halnya di daratan
Pulau Nias, Pendeta Johannes Kersten di sana juga menghadapi wabah penyakit dan
permusuhan antar kelompok penduduk. Pada akhir tahun itu datang pula Pendeta
C.W. Frickenschmit, dan tidak lama kemudian menyusul P. Landwer yang berhasil
membuka Pos PI di Sigala pada tahun 1896.
Mula-mula
mereka berusaha membuka sekolah-sekolah di pulau-pulau yang berdekatan, jadi
dari situ diteruskan usaha PI. Dengan cara ini pada tahun 1912 dapat dibuka Pos
PI di Pulau Mari, pada tahun 1913 di Pulau Betua, tahun 1914 di Pulau Sifika
dan tahun 1916 di Pulau Lora.
Gereja
yang pertama didirikan di Pulau-pulau Batu disebut BKP (Banua Keriso Protestan)
dan akhirnya menggabungkan diri dengan BNKP pada Persidangan Majelis Sinode
BNKP tahun 1960 di Ombölata.
IV. Berdirinya Gereja BNKP
Setelah
Injil masuk ke Nias, terjadilah suatu gerakan pertobatan massal yang disebut
“Fangesa Dödö Sebua.” Peristiwa ini terjadi selama 14 tahun (tahun 1916-1930),
walaupun kadang-kadang terputus. Terjadinya mula-mula di Jemaat Helefanicha,
Humene, ketika Pendeta Otto Rudersdorf berkhotbah dalam Kebaktian Perjamuan
Kudus pada bulan April 1916. Salah seorang jemaat yang mengikuti kebaktian
bernama Filemo mengakui semua dosa dan kesalahannya sehingga sangat susah,
gelisah, gemetar dan menangis.
Setelah
Pendeta mendoakan serta memberi petunjuk agar ia mohon pengampunan dari Tuhan
dan meminta pengampunan dari setiap orang dengan siapa ia bersalah, ia
melakukan semuanya itu, akhirnya ia merasa damai dan bahagia. Tetapi anehnya
orang-orang kepada siapa ia minta pengampunan itu juga semua mengalami gejala
yang sama, sehingga pertobatan itu berkembang kepada seluruh jemaat, bahkan
sampai ke Gunung Sitoli, Sogae’adu, Lölöwua, Nias Tengah, dan Nias Barat.
Meluasnya
gejala ini dapat melalui kunjungan kepada kaum keluarga, mengikuti Persekutuan
Doa, kebaktian Pemahaman Alkitab, dan sebagainya. Pertobatan massal ini
ternyata sangat mempengaruhi perkembangan anggota jemaat sampai ± 415 %. Dari
699 orang sampai tahun 1890 naik menjadi 17.795 orang tahun 1915, kemudian
menjadi 83.905 orang.
Di
samping pertobatan massal, juga dengan adanya pembinaan pelayan-pelayan gereja
yang melayani Pekabaran Injil. Pendidikan tenaga pendeta yang telah dimulai
sejak tahun 1905 telah berkembang dan memungkinkan berdirinya gereja. Sampai
tahun 1940 telah ditahbiskan 25 orang pendeta dari Suku Nias.
Pada
tanggal 18 s.d. 25 November 1936 di Gunung Sitoli diadakan Persidangan
Majelis Sinode pertama, sehingga berdirilah BNKP sebagai gereja di Nias,
walaupun anggaran dasarnya baru disahkan pemerintah pada tahun 1938. Sinode
BNKP itu dipimpin oleh Ephorus A. Luck dari RMG sampai tahun 1940.
Tetapi
pada bulan Mei 1940 terbentuklah anggota Pimpinan Sinode BNKP sebagai berikut :
Voorzitter
(Ketua) : Atoföna Harefa
Wakil
Voorzitter : Fohede Mendröfa
Sekretaris
: Andreas Larosa
Bendahara
: Tandrombörö Hulu (Ama Masati Hulu)
Komisaris
I :
Karöröŵa Telaumbanua
Komisaris
II
: Ta’obini Zebua
Atas
prakarsa Komisi Pekabaran Injil yang sekarang bernama KMO (Komisi Missi dan
Oikumene), BNKP juga pernah mengutus tenaga pendetanya ke Tanah Karo, yaitu
Pendeta Fronst Gulö, yang melayani dari tahun 1967-1970, namun berhenti karena
kesulitan dana. Baru pada bulan September 1996 melalui kerjasama dengan OMF,
BNKP telah mengutus Ibu Pdt. Masrial Zebua, STh. Untuk memberitakan Injil di
tengah-tengah suku Manobo di Pulau Mindanao, Filipina Selatan. Dan seterusnya
atas kerjasama dengan WEC juga telah diutus Pdt. Destalenta Zega, STh yang
didampingi suaminya Max Aay yang menjadi misionaris di Kirghistan, Rusia.
Mereka diutus pada bulan Juni 1998.
V. Penutup
Sebagai
dampak datangnya Injil dan usaha pekabaran Injil di Nias, maka berdirilah
Gereja BNKP yang melembaga sebagai satu sinode pada tanggal 18 November 1936 . BNKP adalah salah
satu gereja beraliran reformasi di Indonesia , yang telah menjelma di
Pulau Nias sejak kedatangan missionaris pertama Ernst Ludwig Denninger di Pulau
Nias pada hari Rabu, tanggal 27
September 1865 . Dalam perkembangannya tercatat bahwa BNKP berasal
dari hasil Pemberitaan Injil para utusan Rheinische Missions Gessellschaft
(RMG) dan para utusan Nederlands Luthers Genootschap Voor in En Uitendige
Zending, dan selanjutnya diteruskan oleh para Pemberita Injil Ono Niha.
BNKP
mempunyai dasar Alkitab dan Tata Gereja BNKP, dan tujuan BNKP adalah
menyaksikan Injil Yesus Kristus kepada semua makhluk bagi kemuliaan Allah dan
keselamatan manusia. Pada hakekatnya BNKP adalah persekutuan orang-orang kudus
yang telah dibaptis dalam nama Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus sebagai
perwujudnyataan dari Tubuh Kristus. Tuhan Yesus memerintah dan menggembalakan
BNKP melalui Firman dan Sakramen dengan kuat kuasa Roh Kudus.
Penataan
BNKP secara organisatoris, sebagai satu lembaga gereja memberlakukan sistim
Presbiterial Sinodal, maksudnya jemaat-jemaatnya sebagai basis operasional
dinamika pelayanannya, sehingga terhindar dari dominasi sinodal yang kaku,
statis, dan otoriter. Sedangkan pada sisi lain menggaris bawahi peranan
hubungan sinodal sehingga terhindar dari bahaya memutlakkan jemaat setempat
(Kongregasionalisme). Itulah BNKP sebagai gereja reformasi.
Sampai
pertengahan tahun 2002, jumlah anggota BNKP tercatat : 333.657 orang, terbagi
dalam 7 resort, 96 distrik, dan 808 jemaat. Keseluruhan Jemaat ini dilayani
oleh 8.500 orang penatua, 795 orang Guru Jemaat dan 131 orang Pendeta (97
laki-laki dan 31 perempuan), ditambah dengan 18 orang vikar/calon pendeta.
Selain unsur pelayan khusus tersebut, BNKP mempunyai beberapa unit pelayanan,
yakni 10 komisi, 5 lembaga, dan 3 yayasan/proyek. Dalam hubungan Oikumenis BNKP
juga telah menjadi anggota PGI, CCA, WCC, VEM, LWS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih untuk Komentar Anda yang membangun, Semoga menjadi berkat bagi kita semua... Amin. GBU