1. Pendahuluan
“Ya'ahowu” adalah merupakan sapaan suku Nias yang terletak pada suatu
pulau di Samudra Hindia, sebelah barat Pulau Sumatera. Di Pulau ini
ternyata Kekristenan mendapat tempat sebagai agama mayor. Dengan
berbagai pergumulan di tengah-tengah konteksnya, gereja atau Kekristenan
lahir dan berkembang. Bagaimana pergumulan dalam kelahirannya dan
perkembangan kekristenan sampai sekarang? Berikut sajian ini mengupas
hal tersebut.
2.1 Konteks/Keadaan Umum
Keberadaaan Kekristenan di Indonesia tidaklah terlepas dari
kedatangan bangsa-bangsa barat ke Indonesia yang membawa agama tersebut.
Hal ini diawali dengan kedatangan bangsa Portugis pada abad ke-16 yang
membawa agama Katolik. Dalam perkembangannya, datanglah Belanda melalui
VOC yang tidak mengutamakan pekabaran injil yang namun memprotestankan
pemeluk Katolik[1]
dengan alasan-alasan komersil. Hal ini tidak berarti tidak ada misi
yang dilakukan sebab di daerah-daerah Malaka, Makasar, Padang, Semarang,
Surabaya dan lain-lain telah dibentuk jemaat seiring dengan meluasnya
perdagangan dan kekuasaan VOC di wilayah-wilayah tersebut.[2]
Pembubaran VOC pada tanggal 31 Desember 1799 karena hutang
mengalihkan kekuasaan atas Nusantara ke tangan pemerintahan Belanda
secara langsung. Pemerintah Belanda (Hindia-Belanda), berbeda dari VOC.
Tidak lagi mengemban amanat yang dirumuskan gereja reformasi Belanda
dalam pengakuan iman nya sehingga menjadi netral di bidang keagamaan[3]
yang didukung juga dengan kekuasaan Inggris sejak 18 September 1811
sampai tahun 1816. Setelah itu kekuasaan kembali diserahkan kepada
pemerintah Belanda. Seiring dengannya, lembaga-lembaga misi[4]
mulai berkembang di Eropa dan mengirim para pekabar Injil termasuk ke
Indonesia. Lembaga inilah yang datang dan membangun kekristenan di Nias.
2.2 Keadaan Umum/Konteks Nias
Kabupaten Nias adalah salah satu kabupaten di propinsi Sumatera Utara
yang beribukota di Gunungsitoli, bersama-sama pulau-pulau lain yang
mengelilinginya, merupakan satu-satunya kabupaten di Propinsi di
Sumatera Utara yang terpisah dari daratan Sumatera. Terdiri atas 150
pulau, luas wilayah 5.625 km2. Pulau Tello merupakan
satu-satunya yang berada di luar pulau Nias dan dikelilingi Samudera
Hindia. Permukaan pulaunya agak bergunung dan berbukit di bagian tengah.
Dataran rendah hanya terdapat di tepi pantai. Di pedalaman banyak
perbukitan yang hampir semuanya tertutup hutan sekunder.[5]
Penduduk Nias hidup dari usaha bercocok tanam, tidak menjadi pelaut
sehingga masyarakatnya bersifat tertutup dan adat serta agama
turun-temurun berpengaruh besar. Terdapat sejumlah pendatang dari
Sumatera Barat yang beragama Islam. Daerah Nias Utara berbeda dari Nias
Selatan dalam hal logat bahasa dan adat[6] dan yang mengatur kehidupan masyarakatnya adalah kepala kampung (Sulawa atau Siolo), kepala distrik (toheöri) dan kepala adat (tondrakö) mereka. Seperti Batak, mereka mempercayai bahwa ono niha (orang Nias) pertama turun dari surga di desa Gomo, sehingga hukum adatnya juga dipercaya mempunyai kualitas dan otoritas ilahi.[7]
Walalupun mereka percaya bahwa mereka adalah keturunan dari seorang
nenek moyang yang kemudian dibagi ke dalam kelompok-kelompok suku,
perang antar suku dan antar öri (kampung) sering terjadi, bahkan setelah kedatangan pemerintah kolonial dan misi Kristen.
Sebelum kehadiran orang Barat, kontak satu-satunya dengan dunia luar
adalah melalui perdagangan budak. Pemerintah kolonial Belanda sendiri
tiba di Nias tahun 1840. Setelah kehadiran Belanda, perdagangan budak
dihentikan, tetapi kehidupan sosial tradisional dan sistem pemerintahan
dipertahankan.[8]
Pekabaran Injil di Nias sebenarnya telah dimulai oleh 2 orang pastor
Roma Katolik dari Mission Etrangerss de Paris pada tahun 1822/1823 yaitu
Pere Wallon dan Pere Barart yang awalnya bekerja di Penang dan kemudian
ke Padang. Dengan ditemani sepasang suami istri Nias (Fransisco dan
Sophie), mereka berangkat ke Nias dan tinggal di Lasara, dekat
Gunungsitoli. Tiga hari kemudian seorang dari mereka meninggal dunia dan
menyusul yang lainnya tiga bulan kemudian.[9]
Pada tahun 1834 misi Protestan dari The Congregationalist Mission
Society Boston Amerika Serikat (ABCFM) masuk melalui 2 orang
missionarisnya yaitu Samuel Munson dan Henry Lyman. Tapi mereka tidak
diberi izin oleh Belanda sehingga mereka pergi ke tanah Batak.[10]
Pada tahun 1835 pemerintah Hindia Belanda melarang tenaga misi asing
untuk bekerja sehingga misi di Nias sementara waktu terhalang.[11]
Tahun 1865 Ludwig Ernst Denninger diutus ke Nias oleh badan misi RMG.[12]
Sebelumnya dari tahun 1848-1859, ia melayani di suku dayak Kalimantan
Selatan, tetapi harus pergi karena sebuah perlawanan terhadap semua
orang Eropa yaitu terjadinya perang Hidayat/perang Dayak[13] yang mengakibatkan di pihak zendeling 4 pendeta, 3 istri dan dua anak mereka dibunuh.[14] Pemerintah melarang RMG untuk meneruskan pekerjaanya di situ. RMG mencari lapangan kerja baru[15]
dan Denninger serta isterinya diutus ke Padang pada tanggal 21November
1861. Di sana dia melayani budak-budak dari Nias. Banyak orang Nias yang
dibawa dari Nias sebagai budak dan bekerja sebagai pembantu dan pekerja
amatir. Sebagian besar mereka adalah pemeluk agama utama Nias, walaupun
beberapa telah masuk Islam khususnya mereka yang telah masuk sekolah
pemerintah.[16] Akhirnya Denninger memutuskan untuk pergi ke Nias.
2.4 Periode Awal Kekristenan di Nias dan Perluasannya
Periode ini berkisar mulai tahun 1865-1915/1916. Selama 25 tahun
pertama (1865-1890) usaha PI di Nias tetap terbatas pada daerah
kekuasaan Belanda di sekitar Gunungsitoli di pantai timur,[17] satu-satunya tempat di Nias pada waktu itu yang diduduki oleh pemerintah Belanda.[18]
Kesulitan-kesulitan awal yang dihadapi adalah alat dasar untuk
komunikasi, seperti bahasa yang harus dipelajari dan rasa percaya umum
harus dibangun sebelum interaksi dilakukan. Walaupun para missionaris
Jerman tidak membuat pengaruh menguasai budaya Nias, bagaimanapun mereka
harus berusaha mendapat kedudukan dalam masyarakat Nias.[19]
Saat mereka memperlakukan para pendengar mereka sebagai tamu, mereka
memberi hadiah kecil dan mereka akan bereaksi dengan pujian. Jika
pengkhotbah memakai komunikasi tradisional dan menyesuaikan diri dengan
kondisi budaya, dia biasanya diperlakukan dengan rasa hormat yang besar.
Sebenarnya motif utama kepala suku masuk Kristen adalah untuk
memperoleh sekutu melawan Islam. Kalau mereka sadar bahwa mereka tidak
dapat memanipulasi para missionaris, maka mereka menjauh. Tetapi
kemudian Kekristenan telah menjadi faktor yang tidak dapat ditolak
sehingga mereka menyerah dan meminta dibaptis.
Saat Paskah tahun 1874, 9 orang Nias dibaptis di kampung Hilinoa[20] yang diperingati sebagai hari kelahiran gereja Nias.[21]
Pada tahun 1890-an jumlah orang Kristen menjadi 706 jiwa. Di masa itu
orang Kristen Nias telah belajar berpartisipasi dalam mengabarkan Injil.
Salah satu dari pemimpin Nias yang memainkan peran dalam PI adalah Ama
Mandranga, seorang kepala kampung. Di samping itu terdapat guru-guru
serta penatua-penatua yang diangkat oleh zendeling. Pada tahun 1882
didirikan sebuah pendidikan guru. Tetapi penduduk Nias lebih
mengharapkan kedatangan seorang zendeling bangsa Eropa daripada tenaga
sesuku mereka. Namun para zendeling tetap berupaya meningkatkan wewenang
pembantu (tenaga Nias) itu di mata orang Nias dan upaya menswadayakan
jemaat-jemaat Nias telah dimulai agak dini. Juga terjadi penterjemahan
Alkitab dan buku-buku lain ke dalam bahasa Nias (utara) oleh pekabar
injil H. Sunderman dengan bantuan Ana Mandraga dan beberapa orang Nias
lainnya.[22]
Bisa dikatakan masa 25 tahun PI sangat lamban. Hal ini disebabkan oleh :
- Tidak adanya jaminan keamanan di seluruh Pulau Nias. Perang saudara antara golongan dengan golongan, antara öri dengan öri masih sering terjadi. Sementara Belanda tahun 1890 baru menguasai Gunungsitoli dan sekitarnya saja.
- Penduduk yang terpencar-pencar sukar dapat dicapai karena belum ada jalan yang dapat dilalui (dengan jalan kaki) yang menghubungkan kampung dengan kampung.
- Kepercayaan penduduk dalam agama suku, seperti penyembahan dari berbagai patung ukiran (seperti Adu Zana : patung Nenek Moyang), masih sangat kuat.[23]
- Karena selain karena jalan belum ada, ternyata keadaan geografisnya sangat menyukarkan dan lagipula merajalela beberapa suku pengacau di pedalaman.
Baru sesudah pemerintah Belanda membawa keamanan serta membuka
jalan-jalan ke pedalaman, sejak tahun 1890 maka usaha PI
berangsur-angsur dapat meliputi seluruh pulau itu. Sesudah 35 tahun
bekerja telah ada 11 setasi[24]
yang mempunyai 5000 jiwa dan sesudah 50 tahun (1915) seluruh pulau
telah dikerjakan. Jumlah setasi adalah 14 dan jumlah tempat PI sebanyak
120 tempat. Pada tahun itu sudah tercapai angka 20.000 orang yang
dibaptis selain daripada 9500 yang sedang mengikuti katekisasi untuk
pembaptisan mereka.[25]
Para zendeling menambahkan pula jumlah guru dan penatua menjadi hampir 500 orang. Diciptakan pula jabatan “sinege”(rasul)
yang melayani jemaat-jemaat yang tidak mempunyai sekolah. Pada tahun
1906 ditahbiskan pendeta Nias pertama yaitu guru Sitefanö dari
Humene. Terjemahan seluruh Alkitab selesai dicetak tahun 1913. Para
zendeling membangun jalan-jalan, mendirikan bank tabungan, membuka
kebun-kebun kopi demi kelancaran PI dan meningkatkan daya ekonomi jemaat
Kristen. Mereka juga berusaha di bidang kesehatan. Mereka masih kurang
senang melihat keadaan jemaat secara batin karena tindakan
penyalahgunaan minuman keras, kekacauan di bidang perkawinan dan
lain-lain.[26]
1. Ludwig Ernest Deningger
Ia masuk ke Nias tanggal 27 September 1865 sehingga diperingati
sebagai hari peringatan masuknya Injil di Nias. Tahun-tahun pertamanya,
ia mengumpulkan beberapa pemuda dan mengajar mereka membaca dan menulis.
Merekalah yang menjadi pembantu-pembantunya untuk mengajar anak-anak di
sekitar Gunungsitoli tahun 1866 sebagai permulaan sekolah di Nias. Ia
menterjemahkan Injil Yohanes ke dalam bahasa Nias dan kemudian Injil
Lukas. Tahun 1875 ia meninggalkan Nias menuju Batavia karena sakit. Di
sana ia meninggal satu tahun kemudian.
2. J. W. Thomas
Dia datang ke Nias tahun 1872. Setelah ia mempelajari bahasa Nias
dari Denninger, Ia ditempatkan di Ombölata, suatu pos PI yang baru
dibuka terletak 9 km di sebelah selatan Gunungsitoli. Di sini sejak
kedatangannya dibaptislah 6 orang penduduk tahun 1875 dan 32 orang di
Frenchu (2 km dari Ombölata) tahun 1876. tahun 1876 berdiri pula gedung
gereja di Ombölata. Ia kemudian pergi mengusahakan PI di Sa’va Nias
Selatan tahun 1885, namun usaha itu gagal.[27]
Kegagalan itu karena perang saudara sehingga ia dipanggil ke
Gunungsitoli (1886). Setelah cuti 3 tahun ia kembali (1889). Tahun 1891
ia membuka pos PI di desa Humene dekat pantai, 11 km sebelah selatan
Gunungsitoli. Tanggal 17 Juli 1893 terjadi pembaptisan massal untuk 115
orang. Anak-anak diajari membaca, menulis dan menyanyi. Tahun 1894
dibangun gedung Gereja yang ada ruang belajarnya. Tahun 1985 ia membuka
sekolah guru seminari di Humene. Tahun 1900 ia meninggal karena sakit
dan dikebumikan di Humene. Sebelumnya ia berhasil membuat kamus “wordenboek” Nias Melayu-Belanda”, buku
“Bibelkunde Thomas” dan buku nyanyian gereja. Saat ia meninggal telah
ada 1.385 orang yang dibaptis di Humene dan sekitarnya, termasuk 3
cabang di kampung Fadoro, Siwalubana dan Tetehosi-Foa.[28]
3. Kreamer
Ia tiba Gunungsitoli tahun 1873, ia berhubungan
baik dengan penduduk setempat. Hampir setiap sore istrinya mengunjungi
keluarga-keluarga pribumi di kampung Hiliona, 2 km di luar Gunungsitoli.
Akhirnya Salawa Hilinoa’a bernama Yawaduha dan beberapa orang kampung
tersebut (semua ada 25 orang) minta dibaptis pada hari paskah 1874.
Inilah pembaptisan pertama di penduduk Nias.
4. Dr. W. H. Sunderman
Ia tiba di Nias tahun 1876 selama 2 tahun
ia bersama-sama dengan Kreamer di Gunungsitoli sambil mempelajari Bahasa
Nias melalui pergaulan langsung dengan penduduk setempat dan buku-buku
berbahasa Nias. Tahun 1878 ia membuka pos PI di Dahana, ± 4 km sebelah
barat Gunungsitoli. Tetapi kepercayaan lama sangat kuat sehingga Injil
tidak menarik bagi mereka. Karena itu ia mengalihkan perhatiannya pada
lapangan pendidikan. Ia mengumpulkan pemuda setempat dan mengajar mereka
membaca dan menulis. Inilah permulaan sekolah guru di Nias 1875/1876.
Tahun 1880 ia cuti ke Jerman selama 2 tahun dan pekerjaan di Dahana
terlantar.[29]
Setelah cuti ia kembali Dahana (1892) karena kurang berhasil ia pindah
ke Loluwua, 18 km sebelah barat Gunungsitoli dan membuka pos PI disana.
Ia menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Nias yang masih dipakai sampai
sekarang. Ia juga menyusun katekhismus Luther dalam bahasa Nias dengan
judul “Lala Wangorifi”.[30]
5. Pdt. 0tto Rudersdorf
Otto Rudersdof menimbulkan penyesalan terhadap
anggota jemaat tentang kurangnya kesadaran akan dosanya khususnya dalam
persiapan untuk perjamuan kudus. Dia mengadakan pelayanan khusus selama 7
minggu sebelum Natal 1951, di gereja hari minggu sore, juga di
jemaat-jemaat setiap hari kerja. Pertemuan ini dihadiri oleh sejumlah
besar orang Kristen Nias. Dalam hal ini seorang asisten guru bernama
Filemon mengalami sebuah kesadaran akan dosa yang tidak biasa dan
pertobatan yang kuat bahwa dosa-dosa nya diampuni oleh Kristus yang
disalibkan. Perubahan ini mempengaruhi yang lain.[31]
6 .J. A. Fehr
Ia adalah seorang pendeta yang tiba di Gunungsitoli tahun 1881.
Setelah dua tahun persiapan di sana, ia menggantikan Thomas di Ombölata.[32]
7. E. Fries
Dia tiba di Nias dan membuka pos PI di
Safaoro’asi (1905). Disamping pemberitaan, ia juga melayani kemiskinan,
perdamaian dan penyakit. Pada tanggal 26 Desember 1909 terjadilah
pembabtisan pertama di sana serentak dengan peresmian gedung gereja
pertama di daerah itu.[33]
2.5. Kebangunan Besar Kekristenan
Masa ini terjadi tahun 1915-1930 yang orang Nias sebut sebagai
“Fangesa dödö” atau pertobatan hati. Gerakan kebangunan besar ini
dimulai pada akhir 1915 di Helefanika, sebuah jemaat di Humene oleh
pelayanan yang dilakukan oleh Pdt. 0tto Rudersdorf. Jemaat mendadak
menginsafi kesalahan-kesalahan mereka sebagai dosa yang membawa ke dalam
maut. Mereka merasa terdorong oleh kuasa yang tidak dapat diatasi,
supaya mereka mengaku dosa-dosa mereka dengan hati terbuka.
Berminggu-minggu lamanya hampir zendeling tidak punya cukup waktu dan
tenaga untuk menyambut mereka itu sekalian.sesudah mereka mengakui serta
mendoakan penyelamatan mereka, maka kesukaan yang luar biasa memenuhi
mereka secara mendadak.
Pada tingkat pertama di dalam kegelisahan hati mereka disebut
“sangalui” (yang mencari) dan setelah mendapat pengampunan dosa menjadi
“sanondra” (yang sesudah mendapat). Mereka berkeinginan untuk
menyebarkan kesaksian Krisen. Muncul juga beberapa “nabi”, mimpi-mimpi
sangat dihargai, terjadi penyembuhan-penyembuhan dan suasana yang serba
ribut disertai dengan badan-badan yang gemetar, teriak-teriak dan
sebagainya yang dipandang sebagai tanda-tanda dicurahkannya Roh Kudus.[34]
Tahun 1917 pergerakan ini mereda tapi tidak berhenti. Itu bergerak
dari Humene dan Ombölata ke Gunungsitoli (1918) dalam beberapa kelompok
doa. Pandita Josefo yang melayani di Gunungsitoli pada waktu itu
menganggap bahwa itu adalah pekerjaan Roh Kudus. Tahun 1917-1918
kebangunan ini juga mencapai Hilimaziaya di utara dan Niha Raya di
Selatan. Tahun 1922 kebangunan besar bangkit kembali di Gunungsitoli
yang juga memerperkuat kekristenan di Hilimaziaya dan mencapai daerah
Lahewa di utara. Juga Sifaoro’asi dan Lölöwua merasakan kekuatan
kebangunan ini. 1923 evanggelis Nias mencapai Börö Nadu Sifalagö Gomo,
pusat agama suku purba di Nias Selatan. Tahun 1922, terjadi masalah
berat bagi Kekristenan di Nias selatan di mana terjadi penyakit epidemik
merebak dan membunuh banyak orang. Hal ini menyebabkan sejumlah warga
desa kembali ke agama awal mereka. Tahun 1925 kebangunan ini terus
berkurang dan bahkan berhenti. Tetapi bagaimanapun tahun 1930
Kekristenan telah menjadi agama terkuat di Nias.[35]
Dampaknya sangat besar jumlah orang Kristen dari 20.000 (1915)
menjadi 85.000 (1929) lahir sejumlah besar lagu gereja yang baru. Kuasa
adat berkurang. Sejumlah anggota jemaaat yang berbakat dan giat dapat
diangkat menjadi sinege (guru injil). Ada juga gejala-gejala negatif
seperti pembunuhan diri karena putus asa, pemusnahan barang karena hari
akhirat dianggap sudah dekat, munculnya nabi-nabi palsu. Setelah mereka
banyak hal dalam jemaat berlaku kembali. Jemaat kembali menjadi pasif,
kerelaan berkorban menghilang, disiplin gerja perlu diterapkan kembali.
Adat kembali berkuasa dan mungkin karena kecilnya jumlah zendeling dan
tenaga terdidik bangsa Nias maka sebagian besar orang Kristen baru itu
tidak sempat menerima pengajaran agama Kristen.[36]
2.6 Pergumulan Masa Kemerdekaan
Melemahnya keuangan[37]
dan padamnya api kebangunan besar menggerakkan para misionaris untuk
mengambil langkah konkret terhadap kemerdekaan dan kemandirian gereja.
Pada tahun 1936 mereka menyelesaikan daftar aturan gereja. Otonomi atas
gereja Nias secara resmi diputuskan dalam sinode pertama dari Banua Niha
Keriso Protestan (BNKP) pada November 1936 dan daftar aturan gereja
disahkan, dengan Gunungsitoli sebagai pusatnya. Tetapi
misionaris-misionaris Eropa masih memegang posisi puncak kepemimpinan.
Sinode itu juga menerima keinginan RMG di Barmen Jerman untuk menunjuk
semua misionaris Eropa sebagai anggota penuh di majelis. Dan para
misionaris menolak aspirasi bahwa setiap distrik gereja bisa mengutus
seorang pemimpin sosial (kepala suku) sebagai anggota penuh majelis
sinode.
Pada bulan Mei 1940 Belanda menahan para misionaris Jerman dan
kepemimpinan dialihkan ke tangan orang Nias. Tetapi kemudian para
misionaris Belanda yang bekerja dengan nama Batak Nias Zendeling (BNZ)
datang ke Nias. Mereka mengklaim kepemimpinan dalam daerah-daerah
tertentu dalam pekerjaan gereja.
Tanggal 17 April 1942, Jepang menginvasi Nias dan menguasainya sampai
15 Agustus 1945. Saat Paskah 1942 semua orang Belanda di Nias
diasingkan dan tiga minggu kemudian dimasukkan dalam sejumlah kamp di
Sumatera. Jabatan ephorus diambil alih oleh pendeta Nias Atöföna
Harefa. Banyak orang muda dipaksa masuk pasukan Jepang. Masyarakat
dipaksa menggali parit-parit dan memberikan makanan. Para wanita
diperkosa, terjadi penderitaan dan kelaparan yang hebat. Agama tidak
dilarang tapi banyak gereja yang menjadi gudang, namun Kekristenan tidak
layu.
Tahun 1945-1949 setelah Jepang pergi, BNKP memulai fungsinya sebagai sebuah gereja mandiri. Tahun 1951 para misionaris Jerman[38] datang kembali dan menjadi penasehat bagi BNKP.[39]
2.7 Masa Skisma Sampai Sekarang
Tahun 1930-an dan 1940-an kebangunan kedua bangkit kembali dengan
fokus bukan pada pengampunan dosa lagi. Tetapi pada karunia Roh Kudus
(kharisma) termasuk mukjizat, glossolalia (bahasa lidah) muncul
dan saat ibadah orang tertentu mulai berteriak (ekstase). Tetapi hal ini
justru menciptakan skisma. Mereka dikenal sebagai Fa’awosa
(persekutuan). Tahun 1933 mereka mulai melepaskan diri dari gereja Nias
(kemudian BNKP) karena merasa harus taat pada suara yang langsung
diterima dari Roh Kudus lebih dari pada peraturan gerejawi. Salah satu
kelompok ini menjadi gereja Angowuloa Fa’awösa khö Yesu (AFY)[40] dan telah diterima menjadi anggota PGI.
Tahun 1946 kelompok di Danoi (sebelah Tenggara Gunungsitoli) menjadi gereja baru yaitu Angowuloa Masehi Idanoi[41]
Nias (AMIN) karena masalah perpindahan pendeta Singamböwö Zebua,
pendeta Ombölata ke Lahusa-Masio sebagai hukuman atas kerjasamanya
dengan pemerintah Jepang dalam program penanaman padi. Tetapi Zebua
menolak dan percaya bahwa Roh Kudus menghendakinya tetap tinggal di
Ombölata. Dengan dukungan kepala kampung Idanoi mendirikan AMIN dengan
11 jemaat pada tanggal 12 Mei 1946 di Helenafika, sebuah desa di Idanoi.[42]
Tahun 1950 kelompok lain di Nias barat keluar yaitu menjadi Orahua
Niha Keriso Protestan (ONKP) berpusat di Srombu. Hal ini diawali
kunjungan ephorus Atöföna Harefa Harefa untuk mendamaikan konflik BNKP
di Tugala-Sirombu dan pulau Hinako. Tetapi di perjalanan dia sakit
sehingga tidak sampai ke sana. Karena itu jemaat di Srombu merasa bahwa
mereka telah diabaikan oleh pimpinan BNKP. Sehingga mereka secara resmi
keluar tanggal 22 Mei 1952 dan sinode pertamanya dua hari berikutnya dan
mengangkat Pandita Dalihuku Marundruri sebagai pimpinan pertamanya.
Tahun 1996 kelompok lain di Nias Selatan keluar menjadi Banua Keriso
Protestan Nias (BKPN) dan menjadi anggota PGI tahun 2005. Juga
pertengahan tahun 1990-an terjadi skisma BNKP di Gunungsitoli yang
menjadi BNKP independen tetapi belum diakui oleh Departemen Agama dan
PGI.
Di pulau-pulau Batu, dimulai dari Pulau Tello misi masuk tanggal 25
Februari 1889 melalui badan LZG (Luthersche Zendingsgenootschap) dari
Amsterdam. Di antara 1912-1916 Injil meluas ke pulau-pulau Mari, Betua,
Sifika, Lorang, dan baru tahun 1937 ke pulau Tanah Bala. Sejak 1945
gereja di pulau-pulau Batu berdiri sendiri dengan nama “Banua Keriso
Protestan” (BKP) sampai 1961 dan menggabungkan diri dengan BNKP.[43]
Dalam perkembangannya ternyata jumlah orang Katolik juga cukup besar.
Hal ini diawali saat tahun 1939 orang Kapucin Belanda Burchardus van
der Weidjen dan kawan-kawan memulai kembali misi Katolik di Nias. Saat
masa Jepang sudah ada 300 orang Nias yang telah dibabtis dan 1500-2000
orang dipersiapkan untuk dibabtis sebagai katekumen. Mereka hadir
sebagai gereja yang satu, benar dan yang tidak terbagi. Di mata orang
Nias, GKR kelihatan menjadi agama yang lebih mudah daripada menjadi
Protestan karena biaya kontribusi gereja jauh lebih rendah dan tidak ada
larangan terhadap patung (adu). Hal yang menjadi masalah adalah bahwa
orang-orang Protestan dibabtis ulang saat masuk Katolik. Cara mereka
terutama dengan lebih progresif dalam mengintegrasikan kebudayaan
tradisional Ono Niha ke dalam liturgi, arsitektur dan seni.[44]
Namun pada akhir abad XX, BNKP tetap merupakan gereja mayoritas
penduduk Nias dengan jumlah ± 325.000 anggota (60% penduduk Nias).
Kemudian tiga gereja lain diterima PGI yaitu AMIN (18.000 anggota), ONKP
(60.000 anggota), AFY (32.000 anggota) sedangkan gereja RK berjumlah
90.000 jiwa.[45]
2.8 Refleksi
Pulau Nias merupakan suatu pulau yang sedikit terpisah dengan pulau
besar Sumatera yang dikelilingi oleh lautan ataupun samudera. Datangnya
Injil merupakan hal yang tidak disangka dan tidak diduga oleh karena
tempat yang agak terpencil dan pada saat itu hanya bisa ditempuh melalui
jalur air. Selain itu terutama karena pahitnya perang Hidayat yang
ternyata secara langsung Tuhan memakai konflik tersebut menjadi sebuah
alat perluasan Injil ke Nias. Tuhan ternyata tidak diam, Dia bekerja
dengan sangat fleksibel dan luar biasa. Adalah Denninger dan
rekan-rekannya dari RMG yang Tuhan pakai dengan kerja keras yang luar
biasa dalam memperjuangkan Pekabaran Injil di Nias. Melihat begitu
banyaknya tantangan dan rintangan yang terbentang di depan, Injil tetap
dapat dikabarkan dan diberikan kepada mereka yang belum mengenal Kristus
sang penyelamat. Sebuah pelajaran yang berharga bahwa memang Roh Kudus
bekerja bahkan di luar batas pekerjaan manusia. Siapa yang akan
menyangka bahwa akan ada fangesa dödö yang membuat Kekristenan sebagai
faktor yang sangat menentukan di Nias. Para zendeling bisa bekerja
dengan luar biasa, tapi tanpa pekerjaan Roh Kudus sesungguhnya tidak ada
sesuatu apa pun yang dihasilkan dengan baik. Hal ini mengingatkan kita
tentang betapa pentingnya mengandalkan Dia dalam setiap hal yang kita
kerjakan. Ternyata kekuatan dari Tuhan melebihi dari apa yang dapat
dipikirkan manusia. Bahkan Dia bisa memakai apa saja termasuk perang
menjadi sarana perluasan kerajaanNya.
3. Kesimpulan
Lahirnya gereja-gereja di Nias adalah tidak lain dari hasil kerja
keras para missionaris dari badan penginjil RMG yang awalnya bekerja di
antara suku Dayak. Meskipun 25 tahun pertama hasil yang dicapai tidak
terlalu memuaskan, tetapi pekerjaan tetap dilanjutkan. Tahun-tahun
berikutnya terjadi gelombang-gelombang pertobatan yang luar biasa yang
disebut fangesa dödö. Masa-masa selanjutnya diwarnai dengan
pemandirian gereja Nias yang ditandai pergumulan yang dalam pada masa
Jepang, masa-masa skisma sehingga melahirkan gereja-gereja : BNKP, AMIN,
AFM, ONKP, dan yang lainnya. Ternyata Katolik pun melanjutkan misinya
yang sempat tertunda. Sehingga Kekristenan menjadi agama yang mendapat
tempat utama bagi masyarakat Nias.
[1] Th. Van den End, Regi Carita I, Jakarta: BPK-GM, 1980, hlm. 66
[2] Ibid., hlm. 102
[3] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2006, hlm. 74
[4]
Lembaga ini dipengaruhi pietisme di Barat, maka sebagai bagian dari
budaya barat, gerakan-gerakan PI ini pun dengan cara halus dan kasar
berlomba-lomba mencari pengikut untuk dijadikan orang yang seagama
dengan mereka. Mereka pun bermental ingin menang sendiri karena agama
Kristen sebagai budaya barat dianggap lebih unggul dari pada agama dan
budaya timur.
[5] ….., Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: Delta Pamungkas, 1997, hlm. 122
[6] Th. van den End, J. Weitjens, Ragi Carita 2, Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm. 211
[7] Jan.S Aritonang, Karel Steenbirk, A History of Christianity in Indonesia, Leiden: Koninklijke Brill NV, 2008, p. 599
[8] Ibid., p. 598-599
[9] W. Gulö(ed.), Benih Yang Tumbuh XIII, Semarang: Satya Wacana, 1983, hlm. 6. Bnd. Jan S. Aritonang dan Karel Steenbirk, Op.Cit., p. 599
[10] Ibid., p. 598
[11] Th. van den End, Op. Cit,
hlm. 216. Pelarangan ini dilakukan karena pemerintah menganggap tenaga
misi asing akan merongrong wilayah kekuasaanya, apalagi setelah perang
Diponegoro.
[12]
RMG merupakan singkatan dari Rheinisce Missionsgesellschft, didirikan
di Barmen pada tahun 1828 sebagai dari penggabungan beberapa PI di
daerah sungai Rhein dan bersifat interdominasi. Tujuannya adalah
memberitakan dan mendirikan kerajaan Allah di tengah-tengah dunia orang
kafir, bukan untuk membawa pertikaian gereja yang terjadi di Eropa. RMG
berjasa bagi penanaman Injil dan tumbuhnya Gereja Kristen Evanggelis
(GKE)., HKBP, BNKP, GKPM (Mentawai), dan lain-lain. Juga bekerja di
Afrika dan Tiongkok. F. D Wellem, Kamus Sejarah Gereja , BPK-GM, 2004, hlm. 402
[13]
Perang ini dimulai saat pangeran Dayak yaitu pangeran Hidayat ingin
mengkudeta Sultan. Karena Sultan didukung orang Belanda, maka pangeran
juga berperang melawan mereka. Dayak pedalaman juga benci kepada Belanda
karena mereka diwajibkan untuk menyekolahkan anak-anak mereka dan
membayar pajak. Sejumlah pegawai serta prajurit Belanda tewas terbunuh.
Beberapa dayak Kristen juga terbunuh karena dianggap sebagai sekutu
Belanda. Sementara itu para zendeling gagal menyadarkan penduduk akan
perbedaan mereka dengan pemerintah Belanda. H. Berkhoff, I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2004, hlm. 311
[14] Ibid., hlm. 331
[15] Th. van den End, Harta Dalam Bejana, Jakarta: BPK-GM, 1990, hlm. 263
[16] Jan S. Aritonang dan Karel Steenbirk, Op.Cit., p. 600
[17] Th. van den End, J. Weitjens, Op. Cit, hlm. 211
[18] Th. Muller Kruger, Sedjarah Gereja di Indonesia, Jakata: BPK-GM, 1995, hlm. 203
[19] Jan. S. Aritonang, Karel Steenbirk, Op.Cit., p. 601
[20] Versi lain mencatat bahwa ada 25 orang yang dibaptis, bukan 9 orang. (Lih. Jan. S. Aritonang, Karel Steenbirk, W. Gulö).
[21] Th. Muller Kruger, Op.Cit., hlm. 203
[22] Th. van den End, J. Weitjens, Op.Cit., hlm. 211-212
[23] W. Gulö, Op.Cit., hlm. 9
[24] Lebih dikenal dengan istilah resort
[25] Th. Muller Kruger, Op.Cit., hlm. 204
[26] Th. van den End, J. Weitjens, Op.Cit., hlm. 212
[27] W. Gulö, Op.Cit., hlm.7-8
[28] Ibid, hlm. 11-12
[29] Ibid, hlm. 8
[30] Ibid, hlm. 10
[31] Jan. S. Aritonang, Karel Steenbirk, Op. Cit., p. 605
[32] Ibid, hlm. 10
[33] Ibid, hlm. 10
[34] Th. Muller Kruger, Op Cit, hlm. 204-206
[35] Jan S. Aritonang, Karel Steenbirk, Op. Cit., p. 606-607
[36] Th. van den End, J. Weitjens, Op. Cit., hlm. 214
[37]
Pada tanggal 31 Desember 1929 dukungan financial oleh pemerintah
Belanda untuk pekerjaan RMG di Sumatera dan Nias yang diberikan, selama
tahun-tahun inflasi yang berat di Jerman setelah perang dunia I,
dihentikan pemerintah kolnial melakukan politik penghematan dalam
mensubsidi sekolah misi. Puncaknya pada krisis ekonomi dunia. Demikian
juga pelarangan tegas atas pertukaran asing oleh Nazi sejak 1933
menyebabkan kemerosotan yang paling buruk dalam sejarah RMG
[38] Mereka adalah Thomsen dan istrinya, 2 orang theolog: Schneider dan Derman, dan tahun 1952 2 orang diaken: Blindi dan Jung
[39] Jan. S. Aritonang, Karel Steenbirk, Op. Cit., hlm. p. 609-610
[40] Tahun 1990-an beranggotakan 32.000 orang dan diterima sebagai anggota PGI
[41] Kemudian diganti menjadi Indonesia
[42] 5% anggota BNKP pindah ke AMIN
[43] Walter Lempp, Benih Yang Tumbuh XII, Jakarta: LPS DGI, 1976, hlm. 16
[44] Ibid, pp. 610-614
[45] Th. van den End, J. Weitjens, Op. Cit., hlm. 216
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih untuk Komentar Anda yang membangun, Semoga menjadi berkat bagi kita semua... Amin. GBU