Kisah Pertama
Ada sebuah cerita tentang seorang tukang yang telah bekerja selama
puluhan tahun, dan pada suatu hari ia ingin pensiun dari pekerjaannya.
Ketika hendak pamit, kontraktor yang mempekerjakannya meminta untuk
membuat sebuah rumah lagi. Tukang yang sudah ingin pensiun ini tidak
begitu senang mendapat tugas terakhir tersebut. Dengan setengah hati, ia
mengerjakan tugas itu. Ia tidak bersungguh-sungguh dalam memilih
material terbaik, maupun mengerjakan bagian-bagiannya. Yang ada di dalam
pikirannya hanya ingin segera menyelesaikan dan bebas dari tugas
tersebut. Dan dapat ditebak, rumah tersebut tidak memiliki kualitas
terbaik, yang sebenarnya tukang ini dapat ciptakan
Begitu rumah tersebut jadi, segera ia menyerahkan kuncinya pada sang
kontraktor. Namun, kontraktor mengembalikan kunci itu pada bapak tukang
tersebut seraya berkata,
“Terimalah rumah ini sebagai hadiah bagimu dan keluargamu. Rumah ini
adalah bentuk ucapan terima kasih dari saya atas pekerjaanmu yang baik
selama ini.”
Mendengar hal tersebut, menyesallah hati si bapak tukang. Sebab jika
tahu rumah itu akan diberikan padanya, pastilah ia akan membangunnya
dengan cara yang sangat berbeda. Ia akan membangun dengan material
terbaik, dan dengan bersungguh hati mengerjakan setiap bagian dari rumah
tersebut.
Kehidupan yang kita bangun ibarat “rumah” yang kelak akan kita
tinggali. Bahan dan cara yang kita pergunakan saat membangun merupakan
tanggung jawab dan pilihan pribadi kita. Pertanyaannya di sini adalah:
sudahkah kita memberi pemikiran, usaha, dan keputusan terbaik? Serta
rasa ikhlas ketika kita membangun kehidupan ini? Setiap kita tentu tidak
ingin menyesal melihat akhir dari kehidupan kelak. Marilah kita memulai
segala sesuatu dengan hidup benar dan melihat pada “tujuan akhir” akan
apa yang hendak kita capai. Capailah tujuan akhir hidup kita dengan
memberi pengabdian terbaik di setiap hari.
Kisah Kedua
Ada juga kisah seorang guru yang mengajar muridnya tentang apa arti
kehidupan. Setelah mengajar dengan menggunakan perumpamaan berupa pohon,
bunga, rumput, burung, diri sendiri dan muridnya, sang guru lalu
menggenggam pasir dan kemudian secara perlahan membuka tangannya. Bisa
kita tebak, pasir yang digenggam tersebut jatuh dan beterbangan dibawa
angin bertiup. Lebih lanjut sang guru mengajar bahwa profesi apapun
(baik menjadi raja, presiden, konglomerat, bintang film terkenal,
petani, buruh kasar, pengemis, dll.), pada akhirnya setiap kita akan
kembali menjadi debu, terbang melayang dibawa oleh angin.
Apakah..
1. Orang-orang di sekitar kita mendapat nilai dan makna yang tersisa dari kehidupan yang sudah kita jalani?
2. Orang-orang di sekitar tahu tentang siapa jati diri kita? Tentunya bukan tentang pengetahuan identitas umum, tapi mengenai karakter dan integritas.
3. Orang-orang di sekitar dapat memahami makna dari status dan jabatan yang kita jalani selama ini?
4. Mereka dapat melihat bahwa apa yang kita lakukan dengan “hidup yang sudah dipercayakan” kepada kita, tidaklah diisi dengan hal sia-sia?
2. Orang-orang di sekitar tahu tentang siapa jati diri kita? Tentunya bukan tentang pengetahuan identitas umum, tapi mengenai karakter dan integritas.
3. Orang-orang di sekitar dapat memahami makna dari status dan jabatan yang kita jalani selama ini?
4. Mereka dapat melihat bahwa apa yang kita lakukan dengan “hidup yang sudah dipercayakan” kepada kita, tidaklah diisi dengan hal sia-sia?
Kembali menjadi debu: Baik kaya atau miskin, raja maupun rakyat
biasa, rupawan maupun biasa-biasa, pekerjaan mulia atau sederhana saja.
Debu sampai kapan pun akan tetap membisu seribu bahasa, siapa yang
peduli itu debunya orang terkenal atau orang sederhana? Siapa yang akan
ambil pusing kalau itu debunya orang yang rupawan atau berwajah
biasa-biasa saja?
Kunci permasalahannya bukan terletak pada siapa, bukan pula pada
status dan kondisi hidup, melainkan bagaimana Anda menjalani kehidupan
ini dengan benar dan bertanggung-jawab. Tidak hanya pada sesama, tetapi
juga pada Tuhan. Tetaplah menjadi orang yang baik, walaupun kita masih
diproses ke arah sana. Jangan pernah menyerah, bahkan jangan pernah
menukar integritas dan karakter Anda dengan sesuatu yang bernilai
sementara. Hidup benar dan memiliki kehidupan yang baik, itulah
kemuliaan dan makna hidup.
Status dan jabatan akan digantikan orang lain, ketika kita menjadi
debu. Namun makna dan kemuliaan hidup yang kita bangun selama hidup,
akan menjadi pohon dan bunga yang indah, yang dapat dinikmati oleh
orang-orang di sekitar kita.
“baiklah orang bijak mendengar dan menambah ilmu dan baiklah orang
yang berpengertian memperoleh bahan pertimbangan–” (Amsal 1:5).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih untuk Komentar Anda yang membangun, Semoga menjadi berkat bagi kita semua... Amin. GBU