Oleh :
Yakub B. Susabda, Ph.D
Memilih
jodoh yang tepat bagi orang beriman, betul-betul suatu upaya penuh pergumulan.
Mengapa tidak, karena hal menurut pimpinan Tuhan dalam hal jodoh, ternyata
mempunyai sisi-sisi yang begitu kompleks. Allah adalah Allah yang hidup, dan
ternyata tidak menginginkan pergumulan yang sama pada setiap anak-anak-Nya.
Kepada yang diberi banyak Ia menuntut banyak (Lukas 12:48b), dengan kata lain,
kepada yang diberi sedikit Allah juga menuntut pertanggungjawaban yang sedikit.
Sulit dipahami jikalau pada individu-individu tertentu Allah seolah-olah begitu
longgar sehingga pernikahan dengan yang "tidak seiman" (yang
jelas-jelas tidak sesuai dengan prinsip Alkitab -- 2Korintus 6:14) dapat dengan
begitu mudah diselesaikan dengan membawa pasangannya kepada Tuhan. Sebaliknya,
begitu banyak pasangan-pasangan seiman, bahkan dengan komitmen pelayanan rohani
yang tinggi ternyata sepanjang hidupnya berurusan dengan berbagai masalah yang
begitu sulit diselesaikan. Apakah mereka salah memilih jodoh? Mungkin juga
tidak, tetapi coba perhatikan kasus di bawah ini.
Aneh, tetapi
mungkin memang sudah jodohnya, karena Yuni tertarik dan kemudian menikah dengan
Toni (bukan nama sebenarnya) seorang penginjil muda yang brilian yang baru
menyelesaikan kuliah S-2. Pacaran mereka berjalan baik-baik saja, karena
keduanya memang tak suka ribut. Pada tahun pertama pernikahan mereka, Yuni
sudah sering mengeluh tentang Toni yang terlalu pendiam dan lebih suka duduk di
depan komputer daripada ngobrol dengan Yuni. Ia melarang Yuni bekerja, karena
takut menjadi batu sandungan bagi jemaat. Bahkan, bergaul dengan pemuda-pemudi
di gerejanya dirasakan oleh Toni sebagai hal yang kurang pantas. Begitu juga
kedekatan dengan ibu-ibu muda yang dianggapnya sebagai "kebiasaan
ngerumpi" yang tidak baik. Toni ingin Yuni menjadi seperti ibu pendeta
senior yang sehari-hari di rumah atau menemani suaminya dalam berbagai
pelayanannya. Akibatnya, Yuni betul-betul tertekan dan tidak tahan. Ia
kehilangan sukacita dan seringkali bertanya di dalam hatinya, "Apakah
pernikahannya keliru? Apakah Toni sebenarnya bukan jodoh yang disediakan Tuhan
baginya?"
Apakah yang
dapat Anda lakukan untuk menghadapi teman dengan kasus seperti ini? Nah,
beberapa prinsip di bawah ini mungkin dapat melengkapi Anda:
A. Mengenal
siapa klien Anda.
Melihat
kasus di atas, rasanya Anda dengan mudah dapat mengenal siapa sebenarnya Yuni.
Mungkin dapat dikatakan bahwa Yuni lahir dan dibesarkan di tengah keluarga
Kristen yang cukup harmonis dan sehat sehingga ia dapat mengembangkan bakat dan
kebutuhan sosial yang cukup sehat. Ia melihat dan mendambakan hubungan suami
istri sebagai hubungan yang sifatnya pribadi, yaitu hubungan antardua pribadi
manusia yang utuh dan saling membutuhkan.
Tidak heran
jikalau ia menginginkan kedekatan pribadi dengan Toni, suaminya. Ia mempunyai
kebutuhan primer "social- relational" yang dalam istilah Abraham
Maslow disebut "love and belongingness". Ini adalah kebutuhan pribadi
dari individu dengan fase kematangan yang cukup tinggi. Yuni mungkin mewarisi
kebutuhan ini melalui pengalaman belajarnya sejak kecil. Dalam keluarga
orangtuanya, hubungan antarindividu yang akrab, diwarnai dengan canda,
pengalaman bersama, dan kebiasaan membagikan perasaan dan pikiran menjadi
realita sehari-hari.
[Abraham
Maslow`s hierarchial needs merupakan manifestasi fase-fase kematangan pribadi
seorang. Individu dengan kematangan pribadi paling rendah mempunyai kebutuhan
primer "physical", kemudian lebih tinggi dari itu kebutuhannya adalah
"security", lebih tinggi lagi barulah "love and
belongingness". Di atas itu kebutuhan individu menjadi "self-
esteem". Lebih tinggi lagi dari "self-esteem" adalah kebutuhan
"aesthetica", dan paling atas adalah kebutuhan individu yang sangat
matang yaitu kebutuhan "selfactualization".]
Lain halnya
dengan keluarga dimana Toni dibesarkan. Sayang sekali kita tidak mempunyai
informasi cukup tentang itu. Mungkin kita dapat meraba jikalau Toni juga dari
keluarga Kristen yang cukup baik dimana tanggung jawab sangat diutamakan.
Mungkin dari kecil, ia dituntut untuk memikul tanggung jawab yang besar dengan
risiko disiplin yang keras, yang... banyak dikaitkan dengan Tuhan. Suatu bentuk
orientasi hidup yang biasanya disertai dengan kurangnya kedekatan-kedekatan
antarpribadi dalam keluarga. Alhasil, lahirlah seorang Toni, yang penuh
tanggung jawab, tak mau menjadi batu sandungan, karena memang kebutuhan
primernya adalah "sukses dalan pelayanan". Baginya, ngobrol, bertukar
pikiran adalah pemborosan waktu. Toni tidak membutuhkan Yuni sebagai satu
pribadi yang utuh yang dapat diajak bersekutu. Baginya, fungsi dan peran Yuni
itulah yang terpenting.
Jadi,
pasangan Toni dan Yuni ini adalah pasangan dari dua individu yang masing-masing
mempunyai kebutuhan primer yang berbeda. Toni tak mungkin dapat membahagiakan
Yuni, begitu juga sebaliknya, jikalau masing-masing tidak menyadari bahwa
pernikahan adalah komitmen hidup bersama dengan tujuan-tujuan (objective
pernikahan Kristen) yang hanya bisa tercapai melalui adaptasi. Dalam
pernikahan, akomodasi hanya terbentuk melalui kerelaan menanggalkan
bagian-bagian dari diri dan mengadopsi hal-hal baru yang selama ini belum
dimilikinya. Tentu, Yuni tak perlu belajar untuk mengadopsi kebutuhan
"aesthetica" dari Toni yang ternyata keropos tanpa mode "love
and belongingness". Yang diperlukan Yuni adalah kemampuan menyesuaikan
diri, yaitu spirit empati penerimaan dan pengertian atas kekurangan Toni. Lain
halnya dengan Toni, ia harus belajar untuk membutuhkan dan menerima Yuni sebagai
satu individu yang utuh, yang perasaan dan pikirannya patut diresponi secara
pribadi.
B. Mengenal
area-area pertumbuhan.
Toni dan
Yuni bisa ditolong untuk saling mengenal keunikan masing-masing dan bahkan
dilatih untuk beradaptasi saling memberi kebutuhan primer masing-masing.
Meskipun demikian, kesadaran tersebut tidak dengan sendirinya akan membuahkan
pertumbuhan yang positif, kecuali mereka masing-masing mengenal area-area
pertumbuhan yang sedang mereka kerjakan. Area-area pertumbuhan ini bisa menjadi
pegangan bagi konselor untuk menemukan arah dari pelayanan konselingnya.
PERTAMA
adalah area pertumbuhan yang sesuai dengan hukum alam atau hukum kewajaran
hidup (laws of nature). Jikalau Toni berani menikahi Yuni, dia seharusnya tahu
bahwa dia adalah tulang punggung, "bread winner" (pencari nafkah)
yang dapat memberi kebutuhan kebutuhan primer untuk seluruh keluarga, bahkan
memberi rasa aman dan bahagia pada Yuni. Begitu juga Yuni, jikalau ia berani
menikah dengan Toni, dia harus rela untuk menjadi ibu rumah tangga yang
merawat, menghormati dan melayani suaminya. Itulah hukum kewajaran hidup yang
semua orang harus patuhi. Penolakan terhadap hukum ini biasanya menjadi
pertanda perlunya terapi yang lebih profesional.
KEDUA adalah
area pertumbuhan yang sesuai dengan hukum hati nurani (laws of conscience).
Untuk menolong mereka, konselor juga harus mempunyai pegangan apakah mereka
mematuhi hukum hati nurani atau tidak. Sebagai contoh, Toni, sebagai suami
seharusnya mempunyai kesadaran hati nurani bahwa berada di depan komputer tanpa
menghiraukan Yuni selama berjam-jam adalah hal yang tidak wajar. Begitu juga
Yuni, seharusnya peka bahwa menunggu dan menuntut perubahan dari pihak Toni
saja adalah tidak fair.
KETIGA
adalah area pertumbuhan yang sesuai dengan tuntutan hukum Allah (God`s laws).
Tuntutan ini hanya diberikan untuk orang- orang percaya, karena kepada mereka
sajalah Allah memberikan Roh Kudus untuk menolong meresponi secara positif
tuntutan yang sesuai dengan kehendak dan rencana-Nya. Sebagai anak Tuhan, Toni
seharusnya sadar bahwa sebagai kepala keluarga kepemimpinannya seharusnya
dihargai dan menghasilkan dampak hormat dan kasih dari seisi rumah tangganya
(1Timotius 3). Begitu juga Yuni, seharusnya ia sadar bahwa sebagai istri
panggilannya adalah menjadi penolong yang sepadan bagi suaminya (Kejadian
2:18).
C. Mengenal
keunikan anugerah Allah yang disediakan bagi orang- orang percaya.
Sampai
sekarang, banyak konselor Kristen yang masih belum menyadari hak istimewa yang
Tuhan sediakan bagi orang-orang percaya. Akibatnya, tanpa disadari arah dan isi
pelayanan konseling Kristen seringkali tidak berbeda dari konseling sekuler.
Secara khusus dalam kasus Toni dan Yuni di atas, sebagian besar konselor akan
memakai "kasih yang alami" sebagai pegangan untuk menyatukan mereka
berdua. Toni mencintai Yuni dan begitu juga sebaliknya, dan konselor akan
menstimulir kasih tersebut sebagai mo513 untuk membangun hubungan yang
harmonis, saling menyesuaikan diri dan saling memberi kebutuhan masing- masing.
Itulah kira-kira yang konselor-konselor selalu usahakan.
Apakah
konseling dengan prinsip seperti ini akan berhasil? Ya, ada kemungkinan
berhasil, khususnya bagi individu-individu yang sehat dan matang jiwanya.
Individu yang sehat dan matang jiwanya hanyalah membutuhkan stimulan dan
situasi yang baru dimana mereka dapat berinteraksi dengan peran-peran yang baru
pula. Dengan kata lain, kalau mereka diingatkan dengan cepat mereka akan
membenahi diri dan mampu beradaptasi. Karena masalah yang mereka hadapi hampir
selalu hanyalah sistim yang terbentuk di luar kesadaran mereka.
Lain halnya
dengan individu yang kurang matang jiwanya. Konseling dengan bermodalkan
"kasih yang alami" saja akan sia- sia walaupun klien-klien tersebut
merasa saling mencintai dan menginginkan kehidupan pernikahan yang harmonis.
Nah, dalam konteks kemungkinan seperti inilah konselor perlu betul-betul
menyadari dan menggantungkan diri pada keunikan anugerah Allah yang disediakan
bagi orang-orang percaya. Mengapa demikian?
Sebagai
orang Kristen kita mengenal empat macam love, yaitu Phileo (kasih antara
saudara), Storge (kasih orangtua), Eros (kasih antara laki-laki dan wanita),
dan Agaphe (kasih Allah). Semua natural love hanyalah perpaduan dari ketiga
macam love yang pertama. Sehingga, apa pun dan bagaimanapun level kematangan
love tersebut, tetapi sifatnya manipulatif dan pusatnya pada diri karena
spiritnya adalah pemenuhan kebutuhan individu itu sendiri. Kalau individu klien
berada pada fase kematangan terendah, misalnya, maka seperti yang dikatakan A.
Maslow, kebutuhannya adalah physical. Nah pada level ini, kata "I love
you", tak lain daripada "I love you karena kamu bisa memberikan
kebutuhan physical yang saya butuhkan". Kamu cantik, sexy, atau kaya
sehingga kamu bisa memberikan uang yang banyak, rumah yang bagus, mobil yang
mewah, dan sebagainya. Lain halnya, dengan individu pada fase ke-2, yaitu fase
dengan kebutuhan primer "security". Kalau ia mengatakan "I love
you", artinya adalah "I love you karena kamu bisa memberikan kebutuhan
rasa aman dalam jiwa saya". Kamu pribadi yang setia, tak suka main
perempuan, rajin bekerja, penuh tanggung jawab sehingga menikah dengan kamu
jiwa saya aman. Begitulah seterusnya, semua natural love adalah manifestasi
kebutuhan pribadi, bagaimanapun level kematangan jiwanya. Individu dengan
kematangan jiwa paling tinggi pun rasa cintanya manipulatif. Mungkin ia bisa
menjadi pemenang Nobel perdamaian, tetapi jikalau ia mengatakan "I love
you" sebenarnya masih manipulatif karena artinya "I love you karena
kamu bisa memberikan kebutuhan "selfactualization" padaku". Kamu
rela, bahkan mendukung keinginanku mati untuk prinsip kebenaran yang kuyakini.
Sekali lagi arah dari natural love ini pun "centripetal" ke dalam,
untuk pemenuhan kebutuhan jiwanya sendiri. Tidak heran jikalau Paulus mengatakan
bahwa orang yang rela mati dibakar untuk orang yang dia cintai pun, tanpa kasih
agaphe dari Allah dalam Kristus perbuatannya sia- sia, kosong, hanya seperti
gong yang berdengung (1Korintus 13).
Memang
kehadiran kasih agaphe juga ditandai dengan fenomena "kesabaran, kebaikan,
penguasaan diri, dan sebagainya (1Korintus 13)," tetapi semua fenomena itu
unik dan tak sama dengan yang muncul dari natural love. Oleh sebab itu, Paulus
menyebut itu semua sebagai buah Roh Kudus (Galatia 5:22-23).
Nah, kembali
pada kasus Toni dan Yuni, saya doakan supaya sebagai konselor Kristen, Anda
dapat mensyukuri keunikan anugerah yang disediakan bagi orang-orang percaya.
Toni dan Yuni tak perlu mempertanyakan "apakah pasangan mereka bukan jodoh
yang Tuhan sediakan", karena apa yang sudah diijinkan Allah untuk menyatu
sebagai suami istri tak boleh diceraikan baik itu secara emosional maupun
faktual (Matius 19). Persoalan mereka akan teratasi jikalau mereka dapat
menerima dan meresponi kasih agaphe yang sudah dianugerahkan Allah pada mereka.
Tuhan
memberkati setiap anak Tuhan yang rela berjerih payah di dalam kebenaran-Nya.
Sumber:
PARAKALEO No. 4 Edisi: Oktober-Desember 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih untuk Komentar Anda yang membangun, Semoga menjadi berkat bagi kita semua... Amin. GBU