Oleh : Ev. Esra Alfred Soru
Kemarahan bukanlah merupakan sesuatu yang asing dalam kehidupan manusia.
Semua orang di dalam dunia ini pernah mengalami dan berkenalan dengan
apa yang disebut sebagai kemarahan entah memarahi atau dimarahi baik
dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama maupun diri sendiri. Kalau
sekiranya dapat dikatakan, kemarahan itu adalah hal yang sejajar dengan
senyuman, tangisan, tawa dan hal lainnya yang merupakan hal yang vital
dalam kehidupan ini.
Namun persoalan yang harus dipikirkan dengan serius adalah ketika
kemarahan itu diletakkan, ditinjau dan diinterpretasikan dari kaca mata
etika Kristen. Ada begitu banyak orang Kristen yang berpandangan bahwa
kemarahan itu adalah sebuah dosa (walaupun bukan sebuah dosa besar) dan
juga lebih memandang positif orang yang kelihatannya tidak pernah marah
(jarang marah) atau pandai menyembunyikan amarahnya daripada orang yang
kelihatan atau diketahui amarahnya. Mungkin pendapat-pendapat semacam
ini didasarkan pada beberapa ayat Alkitab yang memberi kesan agak
negatif tentang kemarahan seperti Mazmur 37:8 : “Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, janganlah marah, itu hanya membawa kepada kejahatan“. Kolose 3:8 : “tetapi sekarang, buanglah semuanya ini yaitu amarah…” dan ayat-ayat lainnya.
Dengan demikian pertanyaan yang perlu dibahas sekarang adalah “apakah kemarahan itu sebuah dosa?”
Mungkinkah ayat-ayat seperti Mazmur 37:8 dan Kolose 3:8 membicarakan
dan melihat kemarahan sebagai suatu dosa yang harus dibuang dan
dihindari? Lalu bagaimana dengan kenyataan bahwa Allah juga marah?
Bahkan kemarahan Allah itu selalu diikuti dengan penghukuman. Begitu
besarnya amarah-Nya sehingga lebih tepat dikatakan sebagai “murka”.
Mazmur 102:11 : “Oleh karena marah-Mu dan geram-Mu sebab engkau telah mengangkat aku dan melemparkan aku“. 2 Samuel 6:7 : “Maka
bangkitlah murka Tuhan terhadap Uza, maka Allah membunuh dia di sana
karena keteledorannya itu. Ia mati di sana dekat tabut Allah itu“. Alkitab juga menceritakan bahwa Yesus pernah marah. Markus 3:5 : “Ia berdukacita karena kedegilan mereka, dan dengan marah Ia memandang sekeliling-Nya…”. Markus 10:14 : “Ketika Yesus melihat hal itu Ia marah dan berkata kepada mereka…”
dan mungkin kemarahan Yesus yang paling besar adalah ketika Ia
mengobrak-abrik Bait Allah yang menurut-Nya telah dijadikan sebagai
sarang penyamun (Yoh 2:13-25) bahkan ayat 15 berkata : “Ia membuat
cambuk dari tali lalu mengusir mereka semua dari Bait suci dengan semua
kambing domba dan lembu mereka; uang penukar-penukar uang
dihamburkan-Nya ke tanah, dan meja-meja mereka dibalikkan-Nya“. Luar biasa! Ini adalah kemarahan dalam kualitas yang sangat tinggi.
Jika kemarahan adalah sebuah dosa maka Allah dan Yesus adalah
pendosa-pendosa besar sebab kemarahan Mereka berada dalam tingkatan yang
sangat luar biasa. Tetapi bukankah Mereka itu mahasuci dan tak mungkin
berdosa? Jika demikian maka persoalannya bukan terletak pada “apakah
Allah berdosa atau tidak?” tetapi pada interpretasi yang benar tentang
kemarahan itu sendiri.
Perhatikanlah ayat berikut : Mazmur 4:5 : “Biarlah kamu marah, tetapi jangan berbuat dosa…”, Efesus 4:26 : “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa…”.
Kedua ayat ini dengan tegas memisahkan kemarahan dan dosa. Rupanya
kemarahan tidak diidentikkan dengan dosa tetapi dilihat sebagai sesuatu
yang dapat menyebabkan (penyebab) dosa, atau dosa dilihat sebagai akibat
dari kemarahan. Jadi pada dasarnya kemarahan itu netral pada dirinya
sendiri. Ia dapat mengakibatkan dosa tetapi bukanlah dosa. Berdosa atau
tidaknya suatu kemarahan tidak terletak pada kemarahan itu sendiri
tetapi pada hal-hal yang dikaitkan dan dikenakan pada kemarahan itu .
Jadi berdosa atau tidaknya kemarahan itu ditentukan oleh hal-hal berikut
ini :
Maksud dari sifat kemarahan dalam diri seseorang adalah apakah
kemarahan itu bersifat situasional dan kondisional atau bersifat
substansial? Jika kemarahan itu bersifat situasional/kondisional maka
kemarahan itu akan menjadikan seseorang menjadi “orang yang marah”,
tetapi jika kemarahan itu bersifat substansial dalam diri seseorang maka
ia akan menjadikan orang tersebut menjadi seorang “pemarah”.
Dalam konteks umum “orang yang marah” tidaklah berbeda dengan
“pemarah” (sebagaimana orang yang mengirim disebut pengirim dan orang
yang membaca disebut pembaca) tetapi dalam konteks khusus keduanya
dibedakan. “orang yang marah” lebih dilihat sebagai sesuatu yang natural
dan wajar sedangkan “pemarah” lebih menunjuk kepada sesuatu yang
bersifat permanen di mana orang tersebut mempunyai hobi marah dan karena
demikian ia akan cepat marah (walaupun tanpa alasan yang tepat) sesuai
dengan hobinya. Karena sifat situasional/kondisional dari kemarahan itu
tidak langsung menjadikan kemarahan itu suatu dosa, maka minimal hal itu
menjadi “modal” awal untuk menjadikan kemarahan itu menjadi benar,
sedangkan sifat substansial dari kemarahan itu lebih cenderung membawa
kemarahan kepada dosa. Sifat semacam inilah yang digambarkan oleh
penulis Amsal 19:19 yang berbunyi : “Orang yang sangat cepat marah akan
kena denda, karena jika engkau hendak menolongnya engkau menambah
amarahnya”. Karena itu nasihat Firman Tuhan adalah : “Janganlah
lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah menetap dalam dada (sifat
substansial) orang bodoh” (Pengk 9:9). Yak 1:19 : “…setiap orang
hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan
juga lambat untuk marah“. Nasihat Firman Tuhan ini hanya dapat
dilakukan oleh orang-orang yang dalam dirinya ada sifat
kondisional/situasional (seorang yang dapat marah) dan bukan oleh orang
yang kemarahannya bersifat substansial (seorang pemarah) yang hobinya
adalah marah sebab yang dilakukan oleh seorang pemarah adalah : “Si pemarah menimbulkan pertengkaran, dan orang yang lekas gusar, banyak pelanggaran“. (Amsal 29:27). Itulah sebabnya Amsal berkata : Lebih baik tinggal pada sudut sotoh rumah dari pada diam serumah dengan perempuan yang suka bertengkar. (Ams 21:9; 25:24). “Lebih baik tinggal di padang gurun daripada tinggal dengan seorang perempuan yang suka (hobi) bertengkar dan pemarah” (Ams 21:19).
Alkitab tidak mempersoalkan seorang yang marah (walaupun masih
banyak hal yang perlu ditinjau dalam amarahnya itu) melainkan seorang
pemarah karena pemarah itu kontras dengan sifat kasih (lihat I Kor 13:5)
dan karena itu pula seorang pemarah tidak diijinkan menjadi seorang
penilik jemaat (Titus 1:7). Jadi kemarahan itu dapat menjadi dosa jika
kemarahan itu bersifat substansial dalam diri seseorang (yang
menjadikannya seorang pemarah) dan bukan karena sifat
kondisional/situasional. Apakah anda adalah seorang yang dapat marah
saja ataukah seorang pemarah?
Sasaran atau obyek kemarahan
Hal kedua yang menentukan berdosa tidaknya suatu amarah adalah
sasaran/obyek kemarahan. Lebih jelasnya adalah “kepada siapakah amarah
itu ditujukan?” Hal ini sangat menentukan interpretasi terhadap amarah
itu sendiri. Amarah itu akan menjadi atau mendatangkan dosa jika amarah
itu diarahkan pada sasaran atau obyek yang keliru, demikian pula
sebaliknya amarah itu bukanlah merupakan sebuah dosa jika amarah itu
diarahkan pada sasaran atau obyek yang benar.
Di atas telah dikutip beberapa ayat yang memperlihatkan kemarahan
Allah dan Yesus. Kita jelas menolak bahwa kemarahan Allah dan Yesus
adalah sebuah dosa, bukan saja karena Allah itu suci tetapi juga karena
kemarahan-Nya ditujukan pada sasaran/obyek yang tepat. Contohnya adalah
kemarahan Yesus dalam Markus 3:5. Di sana jelas dikatakan bahwa
kemarahan-Nya diakibatkan oleh kedegilan hati orang Farisi yang berusaha
mencari-cari kesalahan-Nya (Markus 2:23-28; 3:2). Kemarahan Yesus dalam
Markus 10:14 juga diakibatkan oleh murid-murid yang tidak
memperbolehkan anak – anak kecil datang kepada-Nya. Karena itu setelah
kemarahan-Nya Ia melanjutkan kalimat-Nya dengan berkata “Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-KU…”
Demikian pula dengan kasus Yesus menyucikan Bait Allah. Ia sangat marah
dan mengobrak-abrik Bait Allah karena menurut-Nya Bait Allah telah
dijadikan sarang penyamun (Matius 21:13). Dengan demikian kita dapat
berkesimpulan bahwa kemarahan Allah dan Yesus adalah kemarahan yang
bersasaran tepat di mana kemarahan Mereka diarahkan kepada dosa (orang
berdosa). Ini adalah kemarahan yang kudus. Jadi sasaran yang tepat dari
suatu kemarahan tidak hanya mengakibatkan kemarahan itu tidak
mendatangkan atau menjadi dosa, tetapi juga menjadikannya menjadi
kemarahan yang suci/kudus.
Selain contoh-contoh di atas, Alkitab juga memberikan contoh
kemarahan-kemarahan yang kudus (yang disasarkan pada dosa) antara lain
kemarahan Yohanes Pembaptis kepada orang Farisi dan orang Saduki sampai
ia berkata kepada mereka “Hai kamu keturunan ular beludak…”
(Matius 3:7) dan kemarahan Yesus pada Herodes sehingga Ia menyebut
Herodes sebagai serigala (Lukas 13:32). Kemarahan-Nya yang lain yang
tidak kalah hebat adalah kemarahan yang tercatat dalam Matius 23:13-26
yang salah satunya menyebut ahli-ahli Taurat dan orang Farisi sebagai
keturunan ular beludak (ayat 23). Kedua kata ini (ular beludak dan
serigala) tentulah merupakan kata yang sangat kasar dalam konteks
Alkitab sebab kedua binatang ini selalu dikaitkan dengan iblis dan
pekerjaannya (lihat Lukas 10:3,19; Wahyu 12:9). Sekalipun demikian
kemarahan itu bukan dosa karena kemarahan itu ditujukan pada dosa (orang
berdosa).
Pernahkah anda marah? Tentu pernah ! Tetapi kepada apakah dan
siapakah anda marah? Jika amarah anda tidak ditujukan pada dosa,
ketidakberesan, kemunafikan dan hal-hal negatif lainnya maka anda
berdosa/menjadikan amarahmu menjadi sebuah dosa. Sebaliknya jika
amarahmu ditujukan kepada semuanya itu maka amarahmu bukan saja tidak
mendatangkan dosa tetapi sekaligus menjadi amarah yang kudus. Jika anda
melihat ketidakbenaran, dosa, kemunafikan dan kejahatan dan itu tidak
sempat mengusik amarahmu, maka anda berdosa (Bandingkan Yehezkiel
3:16-21), sedangkan jika anda melihat kasih, kebaikan, ketulusan dan
keluhuran lalu anda menjadi marah, maka anda berdosa karena amarahmu
adalah amarah yang salah sasaran/obyek dan tidak layak.
Adakah amarah yang tidak layak? Ada! Itulah amarah Yunus (Yunus 4:4).
Ia marah kepada Allah karena melihat kasih yang besar dari Allah kepada
penduduk Niniwe setelah pertobatan mereka (untuk memahami alasan
kemarahan Yunus, silahkan membaca kitab Yunus). Itulah sebabnya dua kali
Allah berkata “layakkah engkau marah?” (Yunus 4:4,9).
Jadikanlah amarahmu menjadi amarah yang kudus dengan mengarahkan
amarahmu pada sasaran yang tepat yaitu pada dosa, kejahatan,
kemunafikan, ketidakadilan dan hal-hal negatif lainnya.
Motivasi dari kemarahan
Ada perbedaan yang sangat mendasar antara motiv dan tujuan. Motiv
selalu berbicara tentang “mengapa” sedangkan tujuan selalu berbicara
tentang “untuk apa”. Motiv selalu dijawab dengan kata “karena”,
sedangkan tujuan selalu dijawab dengan kata “supaya”. Motiv itu selalu
berada di belakang persoalan, sedangkan tujuan selalu berada di depan
persoalan. Salah satu contohnya adalah kalimat “saya minum obat”. Motiv
berbicara tentang “mengapa saya minum obat?” (jawabannya adalah karena
saya sakit) sedangkan tujuan berbicara tentang “untuk apa saya minum
obat?” (jawabannya adalah supaya saya sembuh).
Dengan pemahaman semacam kita akan ditolong di dalam berbicara
tentang motiv dan tujuan kemarahan. Ketika kita mulai berbicara tentang
motiv dan tujuan kemarahan, maka sebenarnya kita sementara berbicara
tentang “mengapa kita marah” dan “untuk apa kita marah”. Motiv dari
kemarahan itu berbicara tentang alasan dari kemarahan itu sedangkan
tujuan dari kemarahan itu berbicara tentang apa yang hendak dicapai dari
kemarahan itu. Namun demikian saya hendak memberikan sedikit batasan
tentang motiv (alasan kemarahan) yang akan dibicarakan di sini bukanlah
sesuatu yang diperbuat sehingga kita marah (alasan eksternal) melainkan
sesuatu di dalam kita yang membuat kita marah pada saat ada alasan
eksternal untuk marah (alasan internal).
Dalam bagian kedua telah dijelaskan bahwa sasaran kemarahan yang
benar adalah pada dosa. Jadi dosa membuat kita marah (alasan eksternal),
tetapi apakah yang membuat kita marah pada dosa? (inilah alasan
internal itu), dan inilah yang akan dibahas dalam bagian ini.
Dalam bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa amarah yang ditujukan
pada dosa bukan hanya menjadikan amarah tersebut bukanlah suatu dosa
tetapi lebih dari itu menjadikannya menjadi amarah yang suci. Mengapa
ada amarah yang suci? Hal ini perlu dilihat dari kaca mata hamartiologis
di mana dosa merupakan pelanggaran akan hukum dan sifat kesucian Allah.
Berbuat dosa sama artinya dengan mengangkat sebuah senjata,
mengarahkannya secara tepat dan menembakannya dengan telak ke arah pusat
kesucian Allah. Kesucian Allah telah mendapat serangan yang kuat dan
oleh sebab itu juga Allah tidak akan membiarkannya begitu saja.
Kesucian-Nya telah mendorong-Nya untuk memarahi atau murka terhadap
setiap penyerangan maupun penyerang kesucian-Nya itu. Inilah motiv yang
benar dari kemarahan di mana kemarahan itu harus lahir dari sifat
kesucian Allah yang ada di dalam kita. Sifat ini akan mendesak kita
dengan sangat untuk marah bahkan murka terhadap setiap semua
penyimpangan, penyelewengan dan pelecehan terhadap kebenaran. Jika tak
ada kemarahan sedikitpun dalam hati kita ketika melihat semuanya itu,
maka kemungkinan besar sifat kesucian Allah yang ada dalam kita telah
mengalami distorsi karena dosa pula. Jadi mengapa kita marah? Jika
jawabannya adalah karena desakan sifat kesucian Allah dalam diri kita
maka amarah kita akan menjadi amarah yang suci sebagaimana amarah/murka
Allah. Selain daripada itu amarah kita telah mengarah pada dosa.
Motiv lain yang harus dipikirkan dalam hubungan dengan amarah yang
suci adalah sifat kasih. Mengapa kita marah? Karena kita mengasihi.
Kasih itu membuat kita tidak ingin agar yang dimarahi itu tidak tetap
hidup di dalam dosa. Dengan kata lain ada kasih yang turut mengalir
dalam amarah kita. Allah telah memberikan contoh melalui tindakan-Nya.
Ia marah bahkan benci terhadap dosa tetapi mengasihi orang berdosa. Ia
akan menghukum dosa yang secara otomatis orang berdosa pun akan dihukum,
tetapi penghukuman terhadap orang berdosa itu adalah refleksi dari
kasih-Nya (lihat Wahyu 3:19). Jadi kasih juga harus menjadi motiv yang
benar dari amarah kita. Jika kasih tidak menjadi motivator bagi kita
dalam amarah maka mungkin amarah itu akan membawa kita kepada dosa.
http://airhidup.info
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih untuk Komentar Anda yang membangun, Semoga menjadi berkat bagi kita semua... Amin. GBU