Ada seorang petani tua yang memiliki seekor kuda yang digunakan untuk
mengolah ladangnya. Suatu hari kuda tersebut melarikan diri di
bukit-bukit dan ketika para tetangganya mendengar berita itu, mereka
bersimpati kepada orang tua atas nasib buruknya. Namun jawab si petani
itu, "Nasib buruk? Nasib baik? Siapa yang tahu?"
Seminggu
kemudian, kuda itu kembali dengan membawa kawanan kuda liar dari
pegunungan dan kali ini para tetangga mengucapkan selamat kepada petani
tua akan keberuntungannya. "Nasib baik? Nasib buruk? Siapa yang tahu?"
kata si petani tua itu.
Kemudian, ketika anak si petani tua itu
berusaha menjinakkan salah satu kuda liar, ia terjatuh dari punggung
kuda itu dan kakinya patah. Semua tetangganya kembali setuju bahwa ini
adalah sebuah keberuntungan yang sangat buruk. Petani itu menjawab,
"Nasib buruk? Nasib baik? Siapa yang tahu?"
Beberapa minggu
kemudian, tentara dari pemerintah masuk ke desa-desa dan memaksa setiap
pemuda yang berbadan sehat untuk pergi berperang dalam perang yang
berdarah. Ketika mereka melihat bahwa anak petani tua ini mengalami
patah kaki, mereka tidak memilihinya. Beberapa minggu setelah
peperangan, ada berita bahwa banyak anak-anak dari tetangga si petani
tua itu berguguran di medan perang. Semua penduduk desa itu bersedih
hati dan berkata kepada si petani tua itu sangat beruntung bahwa anaknya
tidak ikut dalam perang. Petani tua itu kembali menjawab, "Nasib baik?
Nasib buruk? Siapa yang tahu?"
Saudaraku, kejadian dalam kehidupan kita ini mirip kisah di atas. Kadang sepertinya segala sesuatu berjalan lancar sebagaimana mestinya, namun di lain waktu, segala sesuatu berjalan di dalam situasi yang buruk. Nah, pertanyaannya apakah kita membiarkan perasaan 'up and down' karena keadaan semacam itu mendikte kehidupan dan cara pandang kita terhadap kehidupan ini? Apakah ketika segala sesuatu berjalan dengan baik, lalu perasaan kita menjadi sukacita dan berpikir bahwa Tuhan beserta kita? Tapi jika sebaliknya, ketika kita sedang dalam situasi yang buruk, lalu perasaan kita menjadi patah semangat dan berpikir bahwa Tuhan meninggalkan kita?
Dalam
Filipi pasal 4 Rasul Paulus telah belajar untuk bersukacita (ay. 4 -
Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan:
Bersukacitalah!), bahkan dia mengalami damai sejahtera dalam semua
keadaan (ay. 7). Rasul Paulus bersukacita ketika hal-hal baik terjadi
dalam hidupnya, namun dia pun bersukacita ketika hal-hal buruk itu
terjadi. Ingat, waktu dia menulis surat kepada jemaat di Filipi, saat
sedang terancam aniaya dan dia sedang di dalam penjara. Sepertinya
anjuran nats di atas tidak realistis dan mustahil untuk dilakukan,
tetapi perintah ini dianjurkan (ay. 4) oleh rasul Paulus, saat dia
mengalami penderitaan!
Mengapa rasul Paulus bisa mengalami
kebahagiaan dan sukacita yang luar biasa? Karena rasul Paulus mempunyai
damai sejahtera dari TUHAN, yang melampaui segala akal, di dalam Kristus
Yesus. Sukacitanya tidak tergantung pada situasi baik maupun buruk,
sukacitanya tidak tergantung pada peristiwa-peristiwa yang dialaminya.
Tapi sukacita yang keluar dari hati, jiwa dan pikiran yang telah
dipenuhi damai sejahtera TUHAN Yesus Kristus.
Persoalan hidup
bisa saja membebani kita secara fisik, emosi dan rohani, namun saat kita
belajar mempercayai TUHAN, maka kita dapat memiliki kedamaian yang
tidak hanya melampaui segala pemahaman, tetapi juga mengatasi kecemasan
kita, karena TUHAN telah membuat hati, jiwa dan pikiran kita menjadi
tenang. Sehingga kita dapat berkata, bahwa segala sesuatu TUHAN turut
bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (Roma
8:28 ).
(Sumber : Buku Inspirasi Kehidupan/ John K.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih untuk Komentar Anda yang membangun, Semoga menjadi berkat bagi kita semua... Amin. GBU