Pengantar
Kata “Allah” masih dipersoalkan oleh sebagian pengguna
Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Persoalan ini mencuat ke
permukaan, karena ada beberapa kelompok yang menolak penggunaan kata “Allah”
dan ingin menghidupkan kembali penggunaan nama Yahweh atau Yahwe. Dalam teks
Ibrani sebenarnya nama Yahweh atau Yahwe ditulis hanya dengan empat huruf
konsonan (YOD-HE-WAW-HE, “YHWH”) tanpa huruf vokal. Tetapi, ada yang bersikeras,
keempat huruf ini harus diucapkan. Terjemahan LAI dianggap telah menyimpang,
bahkan menyesatkan umat kristiani di tanah air. Apakah LAI yang dipercaya
gereja-gereja untuk menerjemahkan Alkitab telah melakukan kesalahan yang
begitu mendasar? Di mana sebenarnya letak persoalannya? Penjelasan berikut
bertujuan untuk memaparkan secara singkat pertimbangan-pertimbangan yang
melandasi kebijakan LAI dalam persoalan ini.
Mengapa LAI menggunakan kata “Allah”?
Dalam Alkitab Terjemahan Baru (1974) yang digunakan secara luas di tanah air, baik oleh umat Katolik maupun Protestan, kata “Allah” merupakan padanan ’ELOHIM, ’ELOAH dan ’EL dalam Alkitab Ibrani:
Dalam Alkitab Terjemahan Baru (1974) yang digunakan secara luas di tanah air, baik oleh umat Katolik maupun Protestan, kata “Allah” merupakan padanan ’ELOHIM, ’ELOAH dan ’EL dalam Alkitab Ibrani:
- Kej 1:1 “Pada mulanya Allah (’ELOHIM) menciptakan langit dan bumi”.
- Ul 32:17 “Mereka mempersembahkan kurban kepada roh-roh jahat yang bukan Allah (’ELOAH).
- Mzm 22:2 “Allahku (EL), Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?”
Dari segi bahasa, tidak dapat dipungkiri, kata
’ELOHIM, ’ELOAH dan ’EL berkaitan dengan akar kata ’L, dewa yang disembah
dalam dunia Semit kuno. EL, ILU atau ILAH adalah bentuk-bentuk serumpun
yang umum digunakan untuk dewa tertinggi. Umat Israel kuno ternyata memakai
istilah yang digunakan oleh bangsa-bangsa sekitarnya. Apakah hal itu berarti
bahwa mereka penganut politeisme? Tentu saja, tidak! Umat Israel kuno memahami
kata-kata itu secara baru. Yang mereka sembah adalah satu-satunya Pencipta
langit dan bumi. Proses seperti inilah yang masih terus bergulir ketika firman
Tuhan mencapai berbagai bangsa dan budaya di seluruh dunia.
Kebijakan LAI dalam menerjemahkan ’ELOHIM,
’ELOAH dan ’EL sama sekali bukan hal baru. Terjemahan Alkitab yang
pertama ke dalam bahasa Yunani sekitar abad ketiga SM. merupakan contoh tertua
yang kita miliki. Terjemahan yang dikenal dengan nama “Septuaginta” dikerjakan
di Aleksandria, Mesir, dan ditujukan bagi umat Yahudi berbahasa Yunani. Dalam
Kejadian 1:1, misalnya, Septuaginta menggunakan istilah THEOS yang biasa
dipakai untuk dewa-dewa Yunani. Nyatanya, Perjanjian Baru pun memakai kata yang
sama, seperti contoh berikut: ”Terpujilah Allah (THEOS), Bapa Tuhan kita Yesus
Kristus” (2 Kor 1:3). Tentu, THEOS dalam kutipan ini tidak dipahami sebagai
sembahan politeis
Kata
“Allah” dalam sejarah penerjemahan Alkitab di nusantara.
Sebelum Alkitab TB-LAI diterbitkan pada tahun 1974,
telah ada beberapa Alkitab dalam bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal
bahasa Indonesia. Injil Matius terjemahan A. C. Ruyl (1629) adalah upaya
pertama dalam penerjemahan Alkitab di nusantara. Menariknya, dalam terjemahan
perdana ini, kata “Allah” telah digunakan, seperti contoh berikut: “maka angkou
memerin’ja nama Emanuel artin’ja Allahu (THEOS) ſerta ſegala kita” (Mat 1:23).
Terjemahan selanjutnya juga mempertahankan kata “Allah”, antara lain:
- Terjemahan Kitab Kejadian oleh D. Brouwerius (1662): “Lagi trang itou Alla ſouda bernamma ſeang” (Kej 1:5).
- Terjemahan M. Leijdecker (1733): “Pada mulanja dedjadikanlah Allah akan ſwarga dan dunja” (Kej 1:1).
- Terjemahan H.C. Klinkert (1879): “Bahwa-sanja Allah djoega salamatkoe” (Yes 12:2).
- Terjemahan W.A. Bode (1938): “Maka pada awal pertama adalah Firman, dan Firman itu bersama-sama dengan Allah”.
Seperti tampak pada contoh-contoh di atas, kata
“Allah” yang baru belakangan ini dipersoalkan oleh sebagian umat kristiani
telah digunakan selama ratusan tahun dalam terjemahan-terjemahan Alkitab yang
beredar di nusantara. Singkatnya, ketika meneruskan penggunaan kata “Allah”,
tim penerjemah LAI mempertimbangkan bobot sejarah maupun proses penerjemahan
lintas-budaya yang sudah terlihat dalam Alkitab sendiri.
Apa dasar kebijakan LAI dalam soal “YHWH”?
Harus diakui, asal-usul nama YHWH tidak mudah
ditelusuri. Dari segi bahasa, YHWH sering dikaitkan dengan kata HAYAH ‘ada,
menjadi’, seperti yang terungkap dalam Keluaran 3:14: “Firman Allah (’ELOHIM)
kepada Musa: ‘AKU ADALAH AKU.’ (’EHYEH ’ASHER ’EHYEH). Lagi firman-Nya:
‘Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU (’EHYEH) telah
mengutus aku kepadamu.’” Maknanya yang persis tidak diketahui lagi, namun ada
yang menafsirkannya sebagai kehadiran Tuhan yang senantiasa ‘ADA’ menyertai
sejarah umat-Nya
Apa dasar LAI menggunakan kata “TUHAN” (seluruhnya
huruf besar) sebagai padanan untuk YHWH? Untuk menjawab ini, kita perlu
memperhatikan sejarah. Umat Yahudi sesudah masa pembuangan amat segan menyebut
nama sakral YHWH secara langsung oleh karena rasa hormat yang mendalam. Lagi
pula, pengucapan YHWH yang persis tidak diketahui lagi. Setiap kali bertemu
kata YHWH dalam Alkitab Ibrani, mereka menyebut ’ADONAY yang berarti ‘Tuhan’.
Tradisi pengucapan ini juga terlihat jelas dalam Septuaginta yang menggunakan
kata KYRIOS (‘Tuhan’) untuk YHWH, seperti contoh berikut: ”KYRIOS menggembalakan
aku, dan aku tidak kekurangan apa pun” (Mzm 23:1)
Ternyata, Yesus dan para rasul mengikuti tradisi yang
sama! Sebagai contoh, dalam pencobaan di gurun, Yesus menjawab godaan Iblis
dengan kutipan dari Ulangan 6:16: “Ada pula tertulis: Janganlah engkau mencobai
Tuhan (KYRIOS), Allahmu” (Mat 4:7). Dalam kutipan ini tidak ditemukan nama YHWH
melainkan KYRIOS. Jika nama YHWH harus ditulis seperti dalam teks Ibrani, mengapa
penulis Injil Matius tidak mempertahankannya? Begitu pula, dalam surat-surat
rasul Paulus tidak pernah digunakan nama YHWH. Dalam Roma 10:13, misalnya,
Paulus mengutip Yoel 2:32: “Barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan (KYRIOS)
akan diselamatkan”. Terbukti, kata yang digunakan adalah KYRIOS, bukan
YHWH.
Mungkinkah Yesus dan para rasul telah mengikuti suatu
tradisi yang “keliru”? Tentu saja, tidak! Para penulis Perjanjian Baru justru
mengikuti tradisi umat Yahudi yang menyebut ’ADONAY (‘TUHAN’) setiap kali
bertemu nama YHWH. Karena Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani, kata
KYRIOS dipakai sebagai padanan untuk ’ADONAY yang mencerminkan tradisi
pengucapan YHWH.
Singkatnya, LAI mengikuti teladan Yesus dan umat
kristiani perdana menyangkut pengucapan YHWH. Dalam Alkitab TB-LAI, kata
“TUHAN” ditulis dengan huruf besar semua sebagai padanan untuk ’ADONAY yang
mengingatkan tradisi pengucapan itu. Penulisan ini memang sengaja
dibedakan dengan “Tuhan” (hanya huruf pertama besar), padanan untuk ’ADONAY
yang tidak merepresentasi YHWH. Perhatikan contoh berikut: “Sion berkata:
‘TUHAN (YHWH) telah meninggalkan aku dan Tuhanku (’ADONAY) telah melupakan
aku.’” (Yes 49:14). Pembedaan ini tentu tidak relevan untuk Perjanjian Baru
yang tidak mempertahankan penulisan YHWH.
Berbagai terjemahan modern juga mengikuti tradisi yang
sama, misalnya, dalam bahasa Inggris: “the LORD” (New Jewish Publication
Society Version; New Revised Standard Version, New International Version, New
King James Version, Today’s English Version); Jerman: “der HERR” (Einheitsübersetzung;
die Bibel nach der Übersetzung Martin Luthers); Belanda: “de HEER” (Nieuwe
Bijbelvertaling); Perancis”: “le SEIGNEUR” (Traduction Oecuménique de la
Bible).
Penutup
Kebijakan LAI mengenai padanan untuk nama-nama ilahi
tidak diambil secara simplistis. Berbagai aspek harus dipertimbangkan dengan
matang, antara lain:
- Teks sumber (Ibrani dan Aram untuk Perjanjian Lama; Yunani untuk Perjanjian Baru) dan tafsirannya.
- Tradisi umat Tuhan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
- Sejarah pemakaian nama-nama ilahi dalam penerjemahan Alkitab ke dalam berbagai bahasa dan budaya dari zaman ke zaman.
- Kebijakan yang diikuti tim-tim penerjemahan Alkitab di seluruh dunia, khususnya yang bergabung dalam Perserikatan Lembaga-lembaga Alkitab se-Dunia (United Bible Societies).
Kesepakatan yang diambil bersama dengan
gereja-gereja, baik Katolik maupun Protestan, yang menggunakan Alkitab
terbitan LAI hingga saat ini. Menjelang penyelesaian Alkitab TB-LAI, misalnya,
pada tahun 1968 diadakan konsultasi di Cipayung dengan para pimpinan dan wakil
gereja-gereja dari berbagai denominasi. Dalam konsultasi ini, antara lain,
disepakati agar kata “Allah” tetap digunakan seperti dalam
terjemahan-terjemahan sebelumnya.
LAI tidak pernah berpretensi seolah-olah terjemahannya
sudah sempurna dan tidak perlu diperbaiki lagi. Akan tetapi, mengingat proses
panjang dan berhati-hati yang ditempuh dalam menerbitkan Alkitab, tuntutan
beberapa kelompok yang ingin menyingkirkan atau memulihkan nama tertentu, tidak
dapat dituruti begitu saja. Dalam semua proses pengambilan keputusan menyangkut
terjemahan Alkitab, berbagai faktor harus dipertimbangkan dengan saksama
menyangkut teks-teks sumber, tafsirannya, tradisi penerjemahan sampai dampaknya
bagi persekutuan dan kesaksian umat Tuhan bersama-sama, khususnya di tanah air
kita.
Akhirnya, dengan penuh kesadaran akan terbatasnya kemampuan manusia di
hadapan Allah, kita patut mempersembahkan puji syukur kepada Dia yang telah
menyatakan firman yang diilhamkan-Nya untuk mendidik orang dalam kebenaran dan
memperlengkapi umat-Nya untuk setiap perbuatan baik (2 Tim 3:16-17). Dialah
yang telah mempersiapkan orang-orang untuk menjelmakan firman kebenaran-Nya
dalam aneka bahasa dan budaya dari masa ke masa. Segala sesuatu adalah
dari Dia dan oleh Dia dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai
selama-lamanya. [bfk]
Sumber : http://www.alkitab.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=69
Mungkin bagian terakhir tulisan yg berbunyi; Dialah yang telah mempersiapkan orang-orang untuk menjelmakan firman kebenaran-Nya dalam aneka bahasa dan budaya dari masa ke masa. Segala sesuatu adalah dari Dia dan oleh Dia dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya.. menjadi lebih menarik. Karena memang perihal kata atau nama Allah ini sangat menjadi pertanyaan saya secara pribadi.. sebab mengapa umat Islam merasa mereka lebih berhak atau mngklaim bahwa nama Allah adalah milik mereka bangsa Arab... Apakah karena memang kata atau nama Allah itu sejatinya dari bahasa Arab/Muslim? Jika demikian bagaimana umat Nasrani masa lalu atau Kristiani masa kini bertanggung jawab bahwa sebutan Allah memang wajib masuk dalam Alkitab/Kitab Suci? Semula pertanyaan ini akan saya kemukakan kehadapan seluruh pendeta atau pastur di Indonesia apakah mereka sepakat bahwa pengajaran di Sekolah Teologia sdh memastikan bahwa kata atau nama Allah memayang layak menjadi sebutan tertinggi dalam Kitab Suci Kristiani... dan memang sebaiknya harus ada pihak yang paling bertanggung jawab atau setidaknya diberi keleluasaan penuh untuk membuat tafsiran dan pengujian yang mendasar kemudian disosialisasikan kepada umat tentang hal tersebut.. semoga Tuhan memimpin dengan himatNya yang dari atas bagi orang-orang pilihanNya.. amin..!
BalasHapus