Dalam Perjanjian Lama diajarkan ritual Sabat, yaitu
perhentian pada hari ketujuh (Sabtu) dari semua pekerjaan. Namun adat-istiadat
Yahudi lama kelamaan tidak lagi mengerti hakekat Sabat yang memberi
kelegaan/istirahat tetapi kemudian menjadikan Sabat sebagai syariat yang
memberatkan umat.
Yesus datang menjadi Tuhan atas Sabat dan untuk
menggenapkan hari kelegaan/perhentian yang sebenarnya.
Sejak PL, Sabat sebagai hukum keempat (Kel. 20:11) terus dijalankan secara ketat oleh orang Yahudi, bukan sekedar sebagai peringatan tentang hari tertentu dimana seseorang mengalami istirahat/perhentian setelah seminggu bekerja, namun dalam ibadat kemudian hal ini menjadi ritual syariat yang membatasi dan membebani kehidupan manusia.
Demi Sabat orang tidak boleh berjalan jauh sekalipun itu untuk tugas mulia, dan demi Sabat seseorang tidak mungkin menolong ternaknya yang terperosok di jurang kalau jaraknya melebihi syariat Taurat yang sudah digariskan.
Intinya, Sabat
berbeda dari artinya semula sebagai hari yang membebaskan, sekarang berubah
menjadi hari yang membelenggu umat.
Sejak ketika Yesus mulai melayani, Ia masih
beribadah di hari Sabat (Luk. 4:16,31), tetapi bukan sepenuhnya sebagai
pengikut ritual tetapi karena itu adalah hari dimana Ia bisa bertemu umat yang
berkumpul di rumah ibadat. Selanjutnya pandangannya mengenai hari Sabat mulai
berubah, Ia menjelaskan bahwa Daud melanggar syariat Sabat lahiriah demi
pembebasan kehidupan riil kepada para pengikutnya (Luk. 6:4-5).
Bahkan Yesus sering menyembuhkan orang dihari
Sabat dan melanggar Sabat, suatu yang dipersalahkan dalam ibadat hukum
Taurat (Luk.
6:6-11;13:14).
Dalam konteks ini Yesus berkata kepada mereka
yang menentangnya:
"Hari Sabat diadakan untuk
manusia dan bukan manusia untuk Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas
hari Sabat.” (Mrk. 2:27-28).
Ada juga yang
mensalah-tafsirkan ayat itu seakan-akan Yesus menunjukkan perintah untuk
memelihara Sabat, padahal konteks ayat itu menjelaskan hal yang sebaliknya,
yaitu membantah pengertian orang Farisi mengenai bagaimana memelihara
Sabat!
Yesus mengatakan kepada
mereka yang lelah dan menanggung beratnya kehidupan kerja disekelilingnya:
"Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan
berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Mat. 11:28).
Kata ‘kelegaan’ adalah
terjemahan kata yunani ‘katapausis’ yang sebenarnya merupakan terjemahan
kata Ibrani ‘Sabat’ (Kel. 20:11) dalam Septuaginta (terjemahan Yunani
dari Tanakh Ibrani).
Sikap Yesus terhadap hari Sabat secara konsekuen dinyatakan dengan kebangkitannya
bukan pada hari Sabat hari
ketujuh tetapi ‘pada hari pertama dalam minggu’ (Mat.
28:1).
Ini menarik karena
kemenangannya atas maut dan ke’tuhan’annya tidak dinyatakan pada hari ‘Sabat
Sabtu’ tetapi pada ‘hari Minggu’ karena Ia telah mendatangkan Sabat
Yobel bagi manusia.
Kita mengetahui bahwa
dalam tradisi Israel. setelah 7 kali 7 tahun (= 49 tahun), maka tahun ke-50
akan menjadi tahun Yobel dimana terjadi pembebasan total bagi mereka yang
menjadi budak atau mengalami pendudukan.
dalam hitungan hari,
setelah 7 kali 7 hari (=49 hari), hari Pentakosta (= hari ke-50) biasanya
dirayakan juga (Imamat 23:15-21; Ulangan 16:19-11)
hari ke-50 adalah hari
minggu, satu hari setelah sabtu sabat hari ke-7
Demikian juga pada
hari kebangkitannya itu, Yesus mendatangi
para murid yang berkumpul dan menghadirkan “damai sejahtera dan sukacita”
(Yoh. 20:19-23).
Seminggu kemudian pada
hari minggu berikutnya ketika
para murid kembali berkumpul, para murid mengatakan kepada Thomas bahwa:
“kami melihat Tuhan” dan ketika Thomas sendiri melihatnya keluarlah
pengakuan “Ya Tuhanku dan Allahku” (Yoh. 20:24-29), pengakuan jemaat
awal yang menegaskan bahwa ‘Yesus adalah Tuhan’ yang identik dengan
pengakuan kepada Tuhan sendiri (Mzm. 35:23-24).
Dari sinilah kemudian
timbul istilah ‘Hari Tuhan’ (kuriake Hemera) untuk menyebut hari pertama
dalam minggu dimana Yesus menyatakan diri sepenuhnya sebagai ‘Tuhan’. RasulYohanes melihat
penglihatan pada ‘hari Tuhan’ (Why. 1:10) dan ‘hari Tuhan’ juga akan
menunjukkan hari kedatangan-Nya yang kedua kali kelak untuk menghakimi manusia
(Kis. 2:20; 2 Ptr. 3:10).
Istilah ‘hari Tuhan’ dalam PB
ditujukan kepada Tuhan Yesus
Menarik untuk diketahui bahwa
setelah ‘bangkit pada hari minggu’ Yesus menyatakan diri pada para murid
pada ‘hari minggu’ berikutnya dimana
mereka berkumpul mengenang hari kebangkitan Yesus untuk makan roti dan doa
(band. Kis. 20:7).
Yesus tidak menyatakan diri
pada hari Sabat sabtu kepada
orang-orang
Yahudi, melainkan
pada hari Minggu kepada para murid-Nya.
Demikian juga pada hari minggu mengenang kebangkitan-Nya ia
mengaruniakan ‘Roh Kudus’ kepada murid-murid-Nya (Yoh. 20:22), dan Roh Kudus
dicurahkan kepada umat manusia pada ‘hari Minggu’ yaitu pada hari ‘Pentakosta’
(hari ke-50 setelah Sabat Paskah).
Hari Pentakosta dianggap sebagai kelahiran gereja
Kristen.
Gereja Kristen lahir pada hari Minggu, hari
mengenang kebangkitan Yesus yang menandakan kemenangannya atas dosa dan maut.
Semua ini menunjukkan bahwa
Tuhan Yesus Kristus memang menghendaki kita menjadikan ‘hari Minggu’ sebagai
‘hari Tuhan’ dimana kita menjalankan Sabat, bukan dalam pengertian Sabat Yahudi yang berupa ritual yang memberatkan umat,
namun dalam pengertian ‘Tahun Rahmat Tuhan’, Sabat Akbar (Yobel) yang
membebaskan umat manusia dari
segala penderitaan mereka.
Perlu disadari bahwa hari
Minggu bukanlah hari Sabat dalam
pengertian ritual tradisi Yahudi, dan sekalipun para murid
kemudian masih menghadiri perayaan hari
Sabat di Bait Allah / Sinagoga, mereka melihat Sabat sebagai menunjuk Yesus
yang menjadi Sabat bagi manusia.
Kemudian, para murid berangsur-angsur meninggalkan
pertemuan Sabat di rumah ibadat Yahudi dan berkumpul memecahkan roti di
hari minggu di rumah-rumah mereka (Kis. 20:7; 1 Kor. 16:2).
Persekutuan demikianlah yang kemudian menjadi hari
persekutuan rutin bagi para murid Yesus.
Semula para murid Yesus yang berasal
dari bangsa Yahudi masih melakukan
pertemuan di hari Sabat sebagai bagian dari tradisi sosial-budaya Yahudi mereka, namun karena Sabat
adalah khas terkait dengan perjanjian kepada Musa yang
berkaitan dengan bangsa Israel yang keluar dari Mesir dan tidak ada
dalam perjanjian kepada Nuh untuk umat manusia, maka karena Sabat
ditujukan kepada umat Israel, umat Kristen yang berasal dari orang asing
umumnya tidak ikut merayakan
Sabat, apalagi di rumah-rumah
ibadat Yahudi (sinagoge).
Karena perkembangan kekristenan yang cukup pesat dan
dianggap menjadi duri dalam agama Yahudi, kemudian ada peraturan yang dikeluarkan pimpinan agama Yahudi tentang ‘Birkat Ha-Minim’ (doa melawan penyesat), yang
melarang semua pengikut
Kristus berada di Bait Allah / Sinagoge pada hari Sabat, peraturan ini menyebabkan umat Kristen
yang orang Yahudi
kemudian berkumpul di rumah-rumah
di hari minggu karena
mereka sekarang dilarang merayakan Sabat di hari sabtu di Sinagoge.
Bapa-Bapa gereja sesudah rasul
Yohanes meninggal (akhir abad pertama) juga menguatkan bahwa perkumpulan di
hari minggu sudah dipraktekkan secara luas di kalangan Kristen.
Kita sudah melihat bahwa umat
Kristen menyebut hari minggu sebagai ‘hari Tuhan’ (kuriake hemera, Why.
1:10), sebagai hari ‘Tuhan Yesus’, yang bangkit pada hari pertama dalam minggu.
Memang ada yang menafsirkan bahwa ‘hari Tuhan’ itu
bukan menunjuk pada hari minggu tetapi menunjuk pada ‘hari penghakiman Tuhan
terakhir,’ namun dari konteks Wahyu 1:10, terlihat bahwa hari dimana Yohanes
menerima wahyu itu disebut ‘kuriake hemera,’ padahal biasanya dalam LXX, untuk
menunjuk kepada ‘hari Tuhan’ yang maksudnya sebagai hari penghakiman terakhir,
LXX menggunakan istilah berbeda, yaitu ‘he hemera tou kyriou.’
Hari Tuhan, selagi mencakup nafas perhentian Sabat yang lama sekaligus
mengungkapkan pembaharuan dalam Roh Kudus, dan bukannya dalam huruf-huruf yang
lama (Rom. 7:6).
Hari Minggu dalam bahasa Indonesia berasal dari
bahasa Portugis Dominggo yang berarti ‘Tuhan,’ yang kemudian
dijadikan kosa kata Indonesia menjadi hari ‘Minggu.’
Dalam Didache 14
(kitab pengajaran Ke-12 Rasul yang berasal dari abad awal) dengan
eksplisit disebutkan bahwa
‘kuriake hemera’ adalah hari minggu. Ignatius (115 M, Epistle to the Magnesian)
mengatakan:
"Jangan kita memelihara lagi hari Sabat,
melainkan merayakan Hari Yesus Kristus, pada hari mana hidup kita bangkit dari
kematian oleh Dia.”
Justinus Martir (165
M) mengatakan bahwa:
"pada hari pertama itu dengan mengubah gelap
menjadi terang Tuhan menjadikan dunia, dan karena Yesus Kristus, Juru-selamat
kita, pada hari itupun, yaitu hari pertama dalam pekan, bangkit dari mati dan
menampakkan diri kepada murid-murid-Nya.”
Melito,
uskup Sardis (190 M) menulis thesisnya berjudul ‘Hari Tuhan’ yang maksudnya ‘hari Minggu.’ Sedangkan
bapa gereja lainnya, yaitu Tertulianus(200
M) mengatakan bahwa:
"hari Tuhan, yaitu hari
kebangkitannya, kita bukan hanya meninggalkan kebiasaan berlutut, tetapi juga
menanggalkan segala kesusahan dan segala yang menindas kita serta bangkit
bekerja.”
Demikian juga Clemens dari Alexandria (220
M) mengatakan bahwa:
"hari pertama dari tiap-tiap pekan telah
menjadi hari perhentian, karena kebangkitan (Tuhan Yesus) dari kematian.”
Dari data-data di atas kita
dapat melihat bahwa kebiasaan berkumpul pada hari Minggu oleh umat Kristen di rumah-rumah menggantikan
berkumpul di hari Sabat Sabtu Yahudi
di rumah ibadat, disamping jemaat di Israel sejak hari kebangkitan Tuhan Yesus dan Kisah Para Rasul,
ternyata sudah menjadi praktek jemaat kristen sejak abad pertama baik di Afrika
Utara, Eropah maupun Asia Kecil, jauh
sebelum kekaisaran Konstantin pada abad ke-4 meresmikan hari minggu dengan mengeluarkan edik sebagai
hari istirahat negara dan
didukung oleh Paus.
Mendukung kenyataan yang telah berjalan tiga abad
lamanya itu, pada tahun 321 M, kaisar Konstantin mengeluarkan edik
yang menentukan hari minggu sebagai hari istirahat negara dan meliburkan/menutup gedung-gedung pemerintahan
pada hari itu, sehingga para pegawai
dapat pemerintah dapat mengalami kelegaan setelah enam hari bekerja keras.
Edik ini bukan merupakan produk ketentuan yang baru
lahir, melainkan meresmikan kebiasaan yang sudah berjalan tiga abad lamanya.
Pengertiannya yang dikandung dalam edik di
sini adalah bahwa masyarakat harus berhenti/libur dari pekerjaan
sehari-hari dan menghadiri pertemuan ibadat di hari minggu.
Hari minggu tidak pernah
dianggap sebagai hari Sabat (seperti dimengerti dalam agama Yahudi).
Baik Roma Katolik, Orthodox,
tidak menganggap ibadat hari Minggu sebagai penerusan Sabat Yahudi.
Para reformator seperti Martin Luther dan Yohanes
Calvin juga menekankan hari Minggu sebagai hari istirahat dan hari berbakti
bagi umat Kristen, tetapi mereka juga menolak mengkaitkan hari Minggu dengan
hari Sabat Yahudi.
Hari Minggu memang menggantikan Sabat sebagai hari
istirahat dan berkumpulnya jemaat, tetapi bedanya Sabat sabtu berfungsi sebagai
perbuatan baik dalam ritual Taurat yang kalau dilanggar adalah dosa, sedangkan
hari Minggu adalah hari berkumpul bagi umat Kristen yang dengan sukacita
merayakan hari kebangkitan Yesus yang telah menang atas dosa dan maut dan telah
memerdekakan mereka dari perhambaan kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih untuk Komentar Anda yang membangun, Semoga menjadi berkat bagi kita semua... Amin. GBU