Sebagai orang Kristen kita percaya, dan kita tahu, bahwa kematian bukan
akhir dari suatu keberadaan, namun hal itu tetap merupakan suatu
perpisahan. Itu adalah akhir dari suatu hubungan yang mempunyai arti
istimewa bagi kita dalam kenidupan ini.
Kematian tidak pernah indah bagi semua makhluk hidup. Bunga mawar yang
kemarin mekar dan indah seperti beludru, sekarang telah menjadi layu.
Seekor burung yang masih muda yang bulu-bulunya masih halus, lembut dan
baru, sekarang menjadi kusut dan penuh lumpur. Anjing peliharaan yang
semula bersinar-sinar matanya, gempal bulunya dengan ekor yang suka
dikibas-kibaskan menunjukkan perasaannya, sekarang menjadi sesosok tubuh
yang kaku dan berlumuran darah. Tubuh seorang anak yang telah menjadi
kurus kering, akibat leukimia selama satu tahun, tidaklah sedap untuk
dipandang. Pikiran-pikiran apakah yang berkecamuk dalam benak seorang
ibu saat ia memperhatikan tubuh anaknya yang masih kecil telah dingin
dan tak bernyawa lagi? Kematian adalah akibat dosa di dalam dunia kita
ini, dan tidak ada keindahan di dalamnya.
Kematian seseorang selalu merupakan kejutan bagi orang-orang yang
mengasihinya. Tidak diduga-duga sebelumnya, tidak ada tanda-tanda
peringatan lebih dulu, tidak ada persiapan yang benar-benar bisa
memperingan goncangan, goncangan dan ketidakpercayaan merupakan
reaksi-reaksi yang wajar terhadap kehilangan seseorang yang dikasihi.
Hal seperti itu memang benar jika orang itu telah meninggal secara
tiba-tiba atau tak terduga. Namun, sekalipun kita tahu bahwa penyakit
yang dideritanya membawa kematian, orang tetap merasa sukar untuk
percaya bahwa orang itu telah benar-benar tiada. Goncangan itu akan
menjadi berlipat ganda bila yang meninggal adalah seorang kanak-kanak.
Bagaimanakah perasaan kita tentang kematian dan keadaan menjelang kematian? Bagaimanakah sikap kita sebagai seorang Kristen? Dapatkah kita berpikir tentang kematian dengan akal yang jernih dan penuh pengertian, ataupun pikiran itu memuakkan dan asing? Apakah kita lebih suka menyingkirkan hal itu dari pikiran kita secepat mungkin?
Musuh Terakhir
Memang benar bahwa Kristus telah menaklukkan maut, seperti yang dikatakan Paulus dalam 1Korintus 15:54-57, namun juga benar bahwa kita belum menaklukkannya. Kematian merupakan musuh terakhir yang harus diatasi, sebagaimana yang kita baca dalam 1Korintus 15:26. Apakah saya mengharapkan kehidupan yang sesungguhnya, yang baru mulai sesudah tubuh ini mati, atau apakah kehidupan di dunia ini menjadi pusat pikiran saya? Kita dapat bersukacita bahwa orang-orang yang berlari ke kuburan Yesus pada pagi pertama minggu itu tidak menemukan “malaikat maut” namun seorang malaikat.
Memang benar bahwa Kristus telah menaklukkan maut, seperti yang dikatakan Paulus dalam 1Korintus 15:54-57, namun juga benar bahwa kita belum menaklukkannya. Kematian merupakan musuh terakhir yang harus diatasi, sebagaimana yang kita baca dalam 1Korintus 15:26. Apakah saya mengharapkan kehidupan yang sesungguhnya, yang baru mulai sesudah tubuh ini mati, atau apakah kehidupan di dunia ini menjadi pusat pikiran saya? Kita dapat bersukacita bahwa orang-orang yang berlari ke kuburan Yesus pada pagi pertama minggu itu tidak menemukan “malaikat maut” namun seorang malaikat.
Sungguhpun demikian, dapatkah saya, atau apakah saya, menghadapi
kematian tanpa rasa takut? Apa yang dapat saya katakan kepada seorang
anak yang sudah mendekati ajalnya? Bagaimanakah saya dapat melayani
seseorang yang sedang menghadapi kematian, jika saya takut? Apakah saya
berani mengambil waktu untuk mengungkapkan perasaan- perasaan saya yang
paling dalam dan mempertimbangkan dengan bijaksana apa yang dikatakan
Alkitab tentang kematian?
Kebanyakan orang Kristen tidak takut terhadap kematian itu sendiri,
meskipun kematian merupakan sebuah terowongan gelap yang tidak
diketahui, sehingga besar kemungkinan hal itu amat tidak menyenangkan
untuk direnungkan. Namun ketakutan yang sesungguhnya adalah saat
menjelang kematian. Penderitaan, perasaan yang hancur, kesepian atau
pergumulan ekonomi apakah yang akan tercakup ketika itu? Bagaimana
halnya dengan orang-orang yang dikasihi? Pikiran- pikiran ini, yang
berkecamuk dalam benak, harus diatasi jika saya harus memandang kematian
seorang anak dengan cara yang akan menolong orang lain. Saya harus
terlibat secara emosi jika saya sungguh mempedulikan seorang anak dan
keluarganya. Namun saya tidak dapat membiarkan diri saya terlalu terbawa
perasaan sehingga karenanya saya tidak akan mampu menolong atau berbagi
perasaan pada saat yang strategis dalam kehidupan mereka. Di manakah
garis pemisahnya?
Langkah pertama dalam memperoleh perspektif yang tepat ialah dengan
mengakui bahwa Allah berdaulat dalam semua masalah kehidupan dan
kematian. Ini adalah tempat berpijak untuk memulai jika saya bersedia
dan mau menolong orang lain. Joseph Bayly dalam bukunya berjudul “The
View from a Hearse” (Pemandangan dari Kereta Jenazah) mengingatkan kami,
bahwa “Allah itu berdaulat. Berdasarkan itulah kita mulai menjawab
pertanyaan-pertanyaan. Kedamaian kita bukanlah dalam hal mengerti segala
sesuatu yang terjadi, melainkan dalam hal mengetahui bahwa Ia berkuasa
atas penyakit, kesehatan dan kematian itu sendiri. Kita menerima
misteri-misteri dan penderitaan- penderitaan hidup yang tidak dapat
dijelaskan karena hal-hal tersebut diketahui oleh Allah, dan kita
mengenal Dia.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih untuk Komentar Anda yang membangun, Semoga menjadi berkat bagi kita semua... Amin. GBU