Sudah lama saya memikirkan
mana yang lebih mudah dilakukan oleh seorang pemimpin: MENERIMA
TEGURAN atau MEMBERI TEGURAN. Yang jelas,
keduanya sulit dilakukan.
Namun EFEKTIVITAS PEMIMPIN SANGAT DITENTUKAN OLEH SIKAP DAN
RESPONNYA DALAM MEMBERI dan MENERIMA TEGURAN. Bahkan banyak pemimpin
yang gagal karena tidak pernah bersedia menerima teguran.
Di pihak lain, kita yang
tidak berada dalam posisi pemimpin sangat segan memberi masukan/ teguran/ kritik kepada pemimpin. Khususnya
kita yang dibesarkan dalam kultur Indonesia yang sangat paternalistik.
THE UNTOUCHABLES!
Pengalaman dalam sebuah
percakapan dengan seorang pemimpin gereja, kami lalu sampai pada topik tentang MENEGUR
dan DITEGUR. Lalu ia mulai bercerita tentang pengalamannya sebagai seorang
pendeta dan hamba Tuhan ditegur oleh seorang anggota
jemaatnya. Menurut persepsinya, teguran tersebut tidak bernada membangun
dan cenderung memojokkan dia. Lalu ia memilih sikap diam. Namun dalam hatinya,
ia merasa suatu ketidaknyamanan.
Ia lalu berkata bahwa
beberapa waktu kemudian, sesuatu terjadi pada orang yang memberi teguran
tersebut. Bisnisnya bangkrut! Dan menurut pendeta tersebut, itu adalah hukuman
Tuhan atas tindakannya menegur seorang yang diurapi Allah.
Pendeta ini lalu
memberitahukan pelajaran yang dipetik dari pengalaman tersebut. Bukan bagi
dirinya, tapi bagi saya. Hanya satu pelajaran. Jangan sembarangan memberi
teguran kepada orang yang diurapi Allah. Mesti hati-hati! Lalu ia memberikan
dasar ayat Alkitabnya: "Jangan mengusik
orang-orang yang Kuurapi, dan jangan berbuat jahat kepada nabi-nabiKu"
(Mazmur 105 : 15).
Sejenak saya terdiam
mendengar nasihatnya. Yang terlintas di benak saya adalah implikasi dari
pernyataan-pernyataan diatas terhadap orang-orang yang dipimpin oleh "orang yang diurapi Allah" tersebut. Pernyataan-pernyataan seperti itu justru mendorong orang
'awam' untuk SEMAKIN PASIF, bahkan SEMAKIN TAKUT MEMBERIKAN MASUKAN dan TEGURAN
KEPADA PENDETA. Criticize, and you will be cursed!
Eksegesis Mazmur 115:15 akan
memperlihatkan bahwa ayat tersebut telah disalahgunakan diatas. Paling tidak ada dua hal yang penting untuk
dicermati.
Pertama, frase "yang Kuurapi" TIDAK MENUNJUK SECARA SPESIFIK KEPADA PENDETA ATAU HAMBA TUHAN YANG HIDUP DI ABAD KE-21 INI. Penggunaan frase tersebut dalam PL menunjuk secara umum kepada raja-raja Israel (lihat misalnya, 2 Sam 1:14; Mazmur 20:7; Ratapan 4:20). Jadi bukan menunjuk kepada nabi. Sedangkan dalam konteks Mazmur 105, frase tersebut menunjuk kepada anak cucu Abraham dan anak-anak Yakub secara umum (the patriarchs).
Pertama, frase "yang Kuurapi" TIDAK MENUNJUK SECARA SPESIFIK KEPADA PENDETA ATAU HAMBA TUHAN YANG HIDUP DI ABAD KE-21 INI. Penggunaan frase tersebut dalam PL menunjuk secara umum kepada raja-raja Israel (lihat misalnya, 2 Sam 1:14; Mazmur 20:7; Ratapan 4:20). Jadi bukan menunjuk kepada nabi. Sedangkan dalam konteks Mazmur 105, frase tersebut menunjuk kepada anak cucu Abraham dan anak-anak Yakub secara umum (the patriarchs).
DALAM PB, ORANG
YANG DIURAPI ALLAH ADALAH SETIAP ORANG PERCAYA TANPA TERKECUALI. "Kamu telah beroleh pengurapan dari
yang Kudus" (1 Yohanes 2:20). Kata "kamu" disana berbentuk
plural dan menunjuk kepada anak-anak Allah.
Jadi jelas disini bahwa tidak ada seorang pun dalam gereja yang memiliki status
special sebagai "orang yang diurapi Allah" yang lebih tinggi daripada
orang-orang percaya lainnya dan kebal terhadap masukan/nasihat/teguran.
Kedua, kata 'usik' (touch,
KJV/NIV) dan 'berbuat jahat' (harm, KJV/NIV) dalam Mazmur 105:15 mengacu kepada
HAL YANG BERSIFAT FISIK. Strong's Hebrew
Dictionary memberikan definisi sebagai berikut: Menyerang dengan pukulan,
mendatangkan malapetaka, menghancurkan sampai berkeping-keping. Pendek kata, AYAT TERSEBUT TIDAK BERBICARA TENTANG MEMBERI MASUKAN ATAU
TEGURAN DALAM DUA HAL YANG ESENSIAL PADA DIRI PEMIMPIN KRISTEN: KARAKTER DAN
AJARAN (doktrin/prinsip).
Disamping dua hal diatas,
ada satu bagian lagi di Alkitab yang sering disalahgunakan untuk mereduksi
keinginan memberi nasihat, masukan, apalagi teguran. Yaitu perintah Tuhan Yesus
dalam tiga kata yang sangat terkenal: "Jangan kamu menghakimi" (Matius 7:1). Apalagi 'menghakimi' pemimpin.
Ayat diatas dipersepsi sedemikian rupa sehingga (1) mengecilkan kapabilitas orang Kristen untuk membedakan yang benar dan yang salah (discernment), (2) mendorong kita untuk menutup mata terhadap kesalahan dan ketidakberesan yang ada di sekitar kita, (3) dan mematikan daya kritis kita terhadap orang lain.
Ayat diatas dipersepsi sedemikian rupa sehingga (1) mengecilkan kapabilitas orang Kristen untuk membedakan yang benar dan yang salah (discernment), (2) mendorong kita untuk menutup mata terhadap kesalahan dan ketidakberesan yang ada di sekitar kita, (3) dan mematikan daya kritis kita terhadap orang lain.
Berikut uraian singkat tentang
beberapa hal yang menjelaskan maksud Yesus dalam bagian ini:
Pertama,
relativisme yang kental mewarnai dunia berdosa abad ke-21 justru SEMAKIN MEMBUTUHKAN PENILAIAN. Yang benar dan yang
salah harus dinyatakan dalam ruang sidang, dalam ruang kelas dan kuliah, dalam
keluarga, dalam perusahaan, dan juga dalam gereja. Tidak mungkin perintah Yesus
diatas malah meniadakan daya kritis orang Kristen terhadap dunia. Ada banyak
bagian lain di Alkitab yang mementingkan praktek 'saling menegur' dalam
komunitas umat Allah.
Kedua, PENGHAKIMAN BERBEDA DENGAN PENDAPAT. Seringkali
pendapat yang kita lontarkan terhadap orang lain diselimuti dan didasari oleh
ketakutan, kesombongan, atau ketidaktahuan kita. Sebaliknya, penghakiman adalah
pendapat yang kita bentuk setelah kita berusaha dengan serius untuk mengetahui
seluruh fakta yang relevan dan (sebagai seorang Kristen) berdoa dan
berkonsultasi dengan Alkitab.
Ketiga,
benang merah dari seluruh kotbah Yesus di bukit adalah agar
para pengikut Kristus berbeda dengan dunia. Sedangkan tekanan dari
kotbah di bukit adalah sikap dan motivasi hati ketimbang perilaku eksternal.
Itu sebabnya Yesus membuat kontras antara para muridNya dan orang Farisi.
Orang Farisi menganggap diri lebih superior secara rohani dan moral dibanding orang lain, dan menghakimi orang seakan-akan mereka sendiri kebal dari penghakiman tersebut. Mereka bertindak sebagai hakim dengan semangat meninggikan diri sendiri dan merendahkan orang lain. Ini yang tidak diinginkan Yesus.
Orang Farisi menganggap diri lebih superior secara rohani dan moral dibanding orang lain, dan menghakimi orang seakan-akan mereka sendiri kebal dari penghakiman tersebut. Mereka bertindak sebagai hakim dengan semangat meninggikan diri sendiri dan merendahkan orang lain. Ini yang tidak diinginkan Yesus.
Fokus Yesus disini bukanlah
tindakan menghakimi itu sendiri, namun sikap dan
motivasi hati yang ada dibalik tindakan tersebut. Paraprase bebas dari
ayat diatas bisa berbunyi demikian: Jangan kamu menghakimi seperti seorang
Farisi! Jangan kamu menghakimi seperti seorang hakim!
Keempat,
yang Yesus larang adalah upaya mengeluarkan selumbar
dimata orang lain dengan balok masih bersemayam dimata kita. Kalau salah
satu gigi Anda memiliki sebuah lubang kecil yang sangat dalam, maukah Anda
datang ke dokter gigi yang sedang terkena penyakit mata katarak?
Yang Yesus katakan adalah koreksi dulu dirimu, baru kita bisa mengkoreksi orang lain. Pola ini perlu kita lakukan dan pertahankan. Koreksi dan ubah diri sendiri, baru koreksi dan ubah orang lain. Tapi tidak berarti tunggu kita sempurna dulu di seluruh area kehidupan, baru bisa koreksi orang lain. Karena jangan-jangan sampai kita mati, kita tidak akan pernah sekalipun mengkoreksi orang lain.
Yang Yesus katakan adalah koreksi dulu dirimu, baru kita bisa mengkoreksi orang lain. Pola ini perlu kita lakukan dan pertahankan. Koreksi dan ubah diri sendiri, baru koreksi dan ubah orang lain. Tapi tidak berarti tunggu kita sempurna dulu di seluruh area kehidupan, baru bisa koreksi orang lain. Karena jangan-jangan sampai kita mati, kita tidak akan pernah sekalipun mengkoreksi orang lain.
Kelima,
apakah selumbar dimata orang lain tersebut harus tetap dikeluarkan? Ya. Karena
adalah tanggung jawab moral orang Kristen untuk
mengkoreksi orang lain, bukan untuk menjatuhkan, namun untuk membawanya semakin
serupa Kristus.
Namun kita harus sadar bahwa
tanggung jawab moral tersebut harus dilakukan dengan KERENDAHAN
HATI dan kesadaran bahwa kita tidak akan pernah 100% benar dan tidak akan luput
dari kesalahan. Dan jangan lupa, kita sendiri nanti akan berdiri
dihadapan penghakiman Tuhan memberi pertanggungjawab tentang keaktifan dan
kepasifan kita dalam hal menegur orang lain.
LOVING CRITICS
Pemimpin tidak membutuhkan unloving critics, si Tukang kritik yang hobinya mencari
kesalahan pemimpin. Sebaliknya, uncritical lovers sangat berbahaya bagi
integritas hidup pemimpin karena hanya menyampaikan hal-hal yang enak didengar
ditelinga pemimpin. Yang dibutuhkan pemimpin adalah LOVING
CRITICS.
Saling
menegur adalah bagian dari kunci membentuk komunitas umat Allah
yang sehat dan bertumbuh. Namun hal ini amat sulit dilakukan kepada pemimpin
karena di satu sisi kita harus menghormati dan taat kepada pemimpin yang Allah
telah tetapkan, dan di sisi lain pemimpin tetap adalah manusia
yang masih bisa salah (fallible) yang membutuhkan kritik dan teguran.
Setelah seluruh diskusi
diatas, ada beberapa kesimpulan yang mengemuka berkaitan dengan SIKAP KITA MENEGUR PEMIMPIN:
1. MENEGUR
PEMIMPIN ADALAH BUKTI KASIH KITA KEPADANYA. Pemimpin memiliki 'blind
spots' dan tidak bebas dari jebakan kuasa, seks, dan uang yang menyeretnya ke
dalam dosa. Tidak menegurnya berarti membiarkan dia tergelincir lebih dalam.
Tidak menegurnya berarti mengabaikan tanggung jawab moral yang Allah berikan
sebagai seorang saudara seiman.
2. Menegur berpotensi
membuat diri kita menjadi sombong dan sok suci. Tidak sulit bagi seseorang
untuk menjelma menjadi orang Farisi: Kritik sana-sini dan tegur setiap orang!
Itu sebabnya DIBUTUHKAN ORANG YANG DEWASA ROHANI UNTUK
MENEGUR (Galatia 6:1).
3. TUJUAN
MENEGUR bukan untuk mengutuk pemimpin atau membeberkan kesalahannya
untuk memalukannya, melainkan untuk restorasi agar
pemimpin semakin efektif dalam hidup dan pelayanannya.
4. Setiap teguran yang kita hendak lontarkan harus didahului dengan tiga hal: FAKTA, FIRMAN TUHAN, dan PERGUMULAN DOA. Teguran yang positif juga disertai dengan tetesan air mata dan hati yang berat. Kalau salah satu dari elemen-elemen tersebut tidak ada, sebaiknya batalkan niat untuk menegur tersebut.
4. Setiap teguran yang kita hendak lontarkan harus didahului dengan tiga hal: FAKTA, FIRMAN TUHAN, dan PERGUMULAN DOA. Teguran yang positif juga disertai dengan tetesan air mata dan hati yang berat. Kalau salah satu dari elemen-elemen tersebut tidak ada, sebaiknya batalkan niat untuk menegur tersebut.
5. BAGAIMANA
TEGURAN ITU DISAMPAIKAN SAMA PENTINGNYA DENGAN ISI TEGURAN TERSEBUT.
Bahkan dalam budaya Timur, terkadang lebih penting. Khususnya kepada orang yang
lebih tua atau lebih senior dalam pengalaman atau pengetahuan. Beberapa hal
yang perlu diperhatikan misalnya, pengkalimatan, bahasa
tubuh, sikap hormat, mimik muka, intonasi, relasi, waktu, dan tempat.
Tanpa hal-hal ini, niat yang baik biasanya malah berakibat buruk.
Yang tidak pernah menegur
perlu berdoa meminta hikmat, kepekaan dan keberanian dari Allah. Yang terlalu
sering menegur perlu berdoa juga meminta pengontrolan diri dan pengampunan dari
Allah.
Sumber : http://www.glorianet.org/sendjaya/1474-pemimpin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih untuk Komentar Anda yang membangun, Semoga menjadi berkat bagi kita semua... Amin. GBU